Jakarta, Gatra.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut telah ‘dibunuh’ karena komisi anti-rasuah tersebut dianggap terlalu efektif dalam menjalankan perannya sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Hal tersebut diungkapkan ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam webinar yang digelar oleh FORMAPPI pada Jumat, (1/10). Menurutnya, kelompok koruptor tidak senang dengan kehadiran KPK sehingga lembaga tersebut harus dijatuhkan.
“Dan kenapa dia bisa jatuh? Karena dia dianggap terlalu efektif sejak design-nya yang pertama kali dibuat. KPK itu ternyata efektif, sesuai dengan harapan para pegiat anti-korupsi, tapi terlalu efektif untuk orang-orang yang merasa [KPK] mengganggu,” ujar Bivitri.
Seperti diketahui, Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK kerap kali menjerat nama-nama besar. Dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menjadi mangsa KPK. Keduanya adalah Akil Mochtar yang terlibat dalam kasus penyuapan pada 2013 lalu dan Patrialis Akbar pada tahun 2017 dengan kasus serupa.
Selain itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Irman Gusman, pun merupakan salah satu nama yang terjerat OTT KPK. Ia pun tertangkap dengan kasus penyuapan pada tahun 2017 lalu.
Di jajaran pejabat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, nama-nama besar pun tak luput dari perburuan OTT KPK. Beberapa di antaranya adalah Setya Novanto (eks-Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar), Romahurmuziy (eks anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PPP), Damayanti Wisnu Putranti (eks-anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDIP), dan yang terbaru Azis Syamsudin (eks-Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar).
Untuk jajaran kementerian, OTT KPK pun tak pandang bulu. Mantan Menteri Sosial (Mensos), Juliari Batubara, dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, adalah deretan nama terbaru yang terjerat oleh KPK pada tahun 2020 lalu karena terlibat kasus korupsi.
Bivitri menyampaikan bahwa bukti-bukti konkret yang dilakukan KPK tersebut dianggap sebagai tindakan yang terlalu efektif oleh para koruptor. “Jadi, KPK karena dia terlalu mengganggu, terlalu efektif, maka dia harus dibunuh, dia harus dimatikan,” ujarnya.
Bivitri mengungkapkan bahwa salah satu upaya untuk melumpuhkan KPK adalah dengan diadakannya Revisi UU KPK pada tahun 2019 silam yang menuai kecaman keras dari publik sehingga terjadi rentetan demontrasi besar-besaran. Selain itu, ia juga menduga pemilihan komisioner KPK setelah Revisi UU tersebut juga merusak KPK dari dalam.
Selain itu, seperti diketahui, polemik yang mengitari KPK lainnya juga meliputi puluhan pegawai yang dipecat lantaran dinyatakan tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Puncaknya, pada 30 September 2021 kemarin, sebanyak 58 pegawai KPK diusir dari jabatannya dan ditawarkan untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri.
Bivitri menilai bahwa hingga saat ini KPK memang masih ada. Hanya saja, menurutnya, ada prinsip-prinsip anti-rasuah dasar yang lenyap. “Eksistensinya masih dibiarkan, tapi design kelembagaannya dimatikan,” ujarnya.