Jakarta, Gatra.com - Benua Eropa sedang mengalami krisis yang serius, krisis energi. Seperti di Inggris, bahan bakar minyak (BBM) di SPBU ludes. Outlet penjualan bahan bakar di negeri Ratu Elizabeth itu banyak yang tutup. Untuk menjaga ketertiban, pompa bensin yang buka pun terpaksa dijaga tentara.
Seperti diketahui, sejumlah harga komoditas energi seperti gas alam, minyak bumi, dan batu bara terus mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir di daratan benua biru itu.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran investor atas tekanan inflasi serta dapat mengancam kepercayaan konsumen. Pada Senin (27/9), Badan Regulator Energi Prancis mengatakan harga gas akan mulai naik 12,6 persen mulai Oktober ini.
Dua pekan sebelumnya, pemerintah Prancis akan memberikan subsidi sebanyak 100 euro kepada sekitar 5,8 juta rumah tangga untuk mengurangi beban biaya energi yang meningkat dalam hal ini tarif listrik dan gas alam.
Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire memprediksi krisis energi di Eropa bakal berakhir dalam beberapa bulan ke depan. Ia meyakini harga-harga komoditas energi bakal turun sejalan dengan pemulihan ekonomi di negara-negara Eropa.
Terkereknya harga minyak, juga membuat harga-harga komoditas ikut menanjak. Ini semua karena fenomena pasca pandemi. Lonjakan permintaan akibat mulai dibukanya ekonomi dunia setelah terpukul karena Covid-19 (Coronavirus Disease 2019).
Namun permintaan yang massif tersebut tidak diimbangi oleh sisi produksi sehingga persediaan menjadi langka. Pandemi yang merebak membuat para penambang kesulitan untuk produksi. Hal ini membuat persediaan komoditas menurun.
Batu bara jadi komoditas yang mengalami lonjakan harga paling signifikan. Kenaikan batu bara ditopang oleh persediaan yang menipis di tengah permintaan yang meningkat karena pembukaan aktivitas ekonomi.
Kenaikan harga juga dialami minyak sawit sepanjang kuartal-III. Pembatasan aktivitas yang terjadi di Indonesia dan Malaysia dalam upaya penanganan COVID-19 pada bulan Juli 2021 diprediksi membuat supply sawit menurun jadi pendorong naiknya harga sawit dunia. Selain itu harga sawit juga terdongkrak oleh naiknya harga minyak dunia.
Terjadinya krisis energi, terutama karena kelangkaan minyak alam, bisa menjadi tonggak untuk bisa mengampanyekan pemakaian bahan bakar nabati agar krisis energi dunia bisa diakhiri.
Bagaimana pun, keunggulan minyak sawit menjadi salah satu pilihan yang harusnya mulai ditawarkan. Minyak nabati dari sawit jadi salah satu opsi transisi energi dari energi fosil enjadi energi baru terbarukan (EBT).
Ini juga sejalan dengan cita-cita roadmap Indonesia terkait energi hijau untuk 30 tahun mendatang sebagai target zero energy carbon. Terpenting adalah pemerintah juga perlu mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.
Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan transisi ke EBT pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Meski demikian, ia menilai harus melihat kesiapan dari pemanfaatan energi tersebut.
"Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal," katanya.
Produksi energi terbarukan memang masih jarang dan prosesnya tida murah. KArena itu tidak efisien bagi konsumen. Namun penyiapatn alternatof energi, perlu dilakukan.
Dan pilihan untuk menghadirkan energi ramah lingkunan namun tetap efisien itu bisa dihadirkan minyak sawit. Saat ini kebun sawit Indonesia memberikan peran dan kontribusinya dalam kebijakan energi masa depan dunia.
Selain menghasilkan enargi generasi pertama (Biodeisel, FAME), kebun sawit Indonesia juga menghasilkan energi generasi kedua (biomas) yang cukup besar dan bahkan lebih besar dari volume biomas gabungan yang dihasilkan kedelai, rapeseed dan bunga matahari.
Kebun sawit menghasilkan biomas sawit berupa tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang dan serat buah (oil palm fibre and shell), batang kelapa sawit (oil palm trunk) dan pelepah kelapa sawit (oil palm fronds).
Hasil study Foo-Yuen Ng, et.al (2010) menunjukkan bahwa setiap hektar kebun sawit dapat menghasilkan biomas sekitar 16 ton bahan kering (dry matter) per tahun.
Produksi biomas sawit tersebut sekitar tiga kali lebih besar dari produksi minyak sawit (CPO) sebagai produk utama kebun sawit. Dengan luas kebun sawit Indonesia tahun 2015 sekitar 11 juta hektar, maka produksi biomas dapat mencapai 167 juta ton setiap tahunnya.
Biomas kebun sawit dapat diolah menjadi biotanol (penganti prmium/gasolie). Menurut pengalaman KL Energy Corporation (2007) setiap ton bahan kering biomas dapat menghasilkan 150 liter etanol.
Hal ini berarti dengan produksi biomas kebun sawit Indonesia sebesar 167 juta ton per tahun, dapat menghasilkan 25 juta kilo liter etanol setiap tahun atau hampir 60 persen dari kebutuhan premium Indonesia.
Dengan volume produksi etanol dari biomas sawit yang demikian, bukankah kebun sawit Indonesia sebagai “tambang” etanol atau biopremium besar?
Selain biomas dari kebun sawit juga potensial memanfaatkan POME (Palm Oils Mill Effluent) melalui tanki digester bigas (methane capture) untuk menghasilkan biogas/biomethane. Dengan produksi POME sekitar 113 juta ton per tahun maka mampu menghasilkan 3.179 juta kubik biogas setiap tahun. Biogas ini dapat mengurangi komsumsi gas alam atau bisa digunakan untuk pembangkit tenaga listrik (biolistrik).
Dengan kata lain kebun sawit penghasil energi terbarukan secara berkelanjutan yakni biodeisel, bioetanol dan biogas/biolistrik. Ketiga energi terbaharui tersebut dapat menjadi penganti energi tak terbarui (energi fosil).
Biodeisel penganti solar, bioetanol penganti premium dan bio gas penganti gas bumi. Uniknya biofuel kebun sawit tersebut, diproduksi secara bersama (joint product) dan tidak saling mengantikan (trade off).
Sepanjang matahari masih bersinar, produksi minyak sawit dan produksi biomas akan berkelanjutan. Sehingga produksi biofuel juga akan berkelanjutan.