Jakarta, Gatra.com - Koordinator Presidium Gerakan Kesejahteraan Nasional (GEKANAS), R. Abdullah menilai privatisasi terhadap PT. PLN (Persero)dengan meliberalisasi tenaga listrik negara berbasis Initial Public Offering ( IPO) berpotensi menimbulkan pertentangan dengan amanat dan perintah Konstitusi negara.
"Dengan melakukan privatisasi perusahaan plat merah yang bernama PT.PLN, maka kepemilikannya akan berubah menjadi milik umum, swastanisasi. Padahal tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak." ujar Abdullah dalam keterangannya, Jumat (1/10).
Lebih lanjut, Abdullah mengingatkan Presiden Joko Widodo dan DPR RI bahwa industri tenaga listrik negara adalah cabang produksi yang dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak, sebagaimana tertulis pada Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. "Pemerintah sebagai Penyelenggara Negara wajib menguasai dan mengelola sepenuhnya Listrik Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran bangsa dan negara." tegasnya.
Abdullah menuturkan Gekanas menganggap dengan dilakukannya Privatisasi terhadap PT.PLN dengan dalih program Holdingisasi dan IPO, hal ini makin menunjukkan Pemerintah sebagai Penyelenggara Negara tidak taat azas dalam melaksanakan atau mengimplementasikan amanat dan perintah Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan jika Cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai sepenuhnya oleh negara.
"Terlebih, Privatisasi PT.PLN membawa konsekuensi berorientasi mengejar keuntungan sebesar-besarnya untuk kepentingan kemakmuran pemilik saham." ujarnya.
Abdullah mengimbau masyarakat sebagai pengguna Listrik Negara agar mengantisipasi Privatisasi PT.PL. Pasalnya langakah tersebut berpotensi besar menimbulkan peningkatan biaya produksi bagi dunia usaha, akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) secara berkelanjutan demi mecapai keuntungan PT. PLN (Persero) sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kemakmuran pemilik modal (saham) dan tentu sangat memengaruhi harga jual hasil produksi sekaligus kemampuan daya saing dengan usaha industri sejenis lainnya yang bersumber dari impor.
Selain itu, lanjut Abdullah, langkah tersbut turut berpotensi besar menurunkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap produk usaha industri, khususnya kelompok masyarakat pekerja atau buruh yang mayoritas berpenghasilan Upah Minimum dengan standar kebutuhan hidup untuk seorang lajang dan rentan menjadi Orang Miskin Baru (OMB). "Belum lagi, jika rencana tersebut tetap dipaksakan maka akan berpotensi makin menambah beban APBN yang saat ini sedang defisit."pungkasnya.