Jakarta, Gatra.com – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan 21 terpidana perkara korupsi dalam kurun waktu 9 Maret hingga 15 September 2021.
Ke-21 perkara yang diajukan PK oleh terpidana perkara korupsi tesebut, 17 di antaranya kasusnya hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan 4 kasus penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengatakan, keputusan MA menolak PK terpidana korupsi merupakan konsistensi menjalankan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020 yang diterbitkan di bawah kepemimpinan Muhammad Syarifuddin.
"[Penolakan PK] di sini terobosan Perma itu telah dilaksanakan secara konsisten oleh Hakim Agung," kata Boyamin kepada wartawan pada Kamis (30/9).
Boyamin mengungkapkan, meski Perma tersebut tidak bermaksud memengaruhi kemandirian hakim, namun dorongan terhadap pemberantasan korupsi ini sangat deras.
"Inilah jawaban nyata dari kejengahan kita atas fenomena korting hukuman koruptor," ujarnya.
Ia mengharapkan MA melalui para hakim agung tetap menjaga konsistensi, independensi, dan profesionalitas sehingga PK bukan menjadi celah meringankan atau mengorting hukuman para koruptor.
Terlebih, lanjut Boyamin, saat ini masih terdapat sejumlah pengajuan PK yang belum diputus MA. Menurutnya, PK merupakan pintu terakhir dan kalau putusannya tidak konsisten tentunya sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Ia optimistis bahwa konsistensi MA ini akan menyolidkan dan mengintegrasikan lembaga-lembaga hukum terkait dalam. memberantas korupsi. “Itu harapan kita bersama,” ujarnya.
Adapun sejumlah PK perkara tindak pidana korupsi yang masih menunggu putusan dari hakim agung atau MA, di antaranya yang diajukan mantan Ketua Umum (Ketum) Golkar Setya Novanto, mantan Ketua PKS Luthfi Hasan Ishaq, mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola Zulkifli.