Jakarta, Gatra.com- Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) siap melibatkan petani atau pekebun kelapa sawit dalam rantai pasok biodisel untuk menjaga keberlanjutan program energi baru dan terbarukan (EBT) melalui Mandatori Biodiesel.
Plt Kepala Divisi Lembaga Kemasyarakatan Civil Society BPDPKS, Sulthan Muhammad Yusa di Jakarta, Jumat, mengatakan kebutuhan Program Mandatori Biodiesel yang terus meningkat setiap tahun, perlu dibarengi dengan peningkatan produktivitas kebun sawit agar kebutuhan bahan baku biodiesel sawit dapat terpenuhi pada masa mendatang.
"Ke depan BPDPKS akan mendorong Palm Oil for Renewable Energy: Next Program, yakni melibatkan petani dalam rantai pasok biodiesel sawit," katanya dalam FGD Sawit Berkelanjutan Vol 8, bertajuk "Peranan BPDPKS Mendorong Petani Kelapa Sawit Suplai Bahan Baku Biodiesel". .
Selain pengembangan biodiesel dengan teknologi Fatty Acid Methly Ester (FAME) juga sedang dikembangkan biodiesel berbasis hydrogenisasi atau kerap disebut biohidrokarbon, yang bisa menghasilkan green diesel, green gasoline, dan green fuel jet (Avtur).
Pengembangan tersebut, lanjutnya, akan melibatkan petani dan akan menggunakan teknologi yang bisa diimplementasikan dengan skala tidak besar dan menguntungkan petani kelapa sawit.
Koordinator Investasi dan Kerjasama Bioenergi Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM, Elis Heviati mencatat, penerapan program mandatori biodiesel dilatarbelakangi Indonesia memiliki potensi produksi minyak sawit mentah (CPO) yang cukup besar yang mana pada 2020 mencapai 52 juta ton.
Upaya dalam meningkatkan ketahanan energi nasional, tambahnya, juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena dari tutupan lahan sawit seluas 16,38 juta ha sebanyak 40 persen dimiliki pekebun sawit (petani sawit).
Elis menyatakan, dalam strategi besar rencana energi nasional, pada 2030 pemerintah akan tetap mempertahankan kebijakan B30 dan memaksimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dari biodiesel atau biohidrokarbon.
Ke depan pemanfaatan biofuel tiak sebatas untuk biodiesel saja, dan tidak terbatas pada pengusahaan skala besar, didorong yang berbasis kerakyatan, untuk spesifikasi menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen.
Model kesertaan petani dalam program mandatory biodiesel bisa berupa pengembangan Pabrik Minyak Nabati Industrial (IVO) dan Bensin Sawit dengan bahan baku dari TBS Sawit raykat. Dimana Biaya produksi lebih murah 15-20% dari PKS Konvensional, harga tandan buah segar lebih stabil erta dapat dikelola oleh Koperasi/BUMD dan SNI IVO sudah terbit.
Sementara itu Ricky Amukti dari Traction Energy Asia mengatakan, menempatkan pekebun mandiri kelapa sawit dalam rantai pasok biodiesel sangat dimungkinkan, terlebih Pekebun sawit mandiri menguasai 40 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Dengan memasukkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok produksi biodiesel, lanjutnya, akan membantu meningkatkan kesejahteraan dan memberantas kemiskinan. Termasuk, mengurangi resiko deforestasi dan menjaga hutan alam yang tersisa dan menggunakan TBS kelapa sawit yang dihasilkan dari lahan pekebun sawit mandiri dapat mengurangi emisi dari keseluruhan daur produksi biodiesel.
"Sampai saat ini kondisi rantai pasok TBS dari Petani ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) bervariasi. Panjangnya rantai pasok TBS mengurangi keuntungan petani swadaya. Dengan mandatori biodiesel ini bisa menjadi momentum dalam upaya perbaikan rantai pasok dari petani,” kata Ricky.
Sementara itu Sekretaris Jenderal Serikat Petani kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto, dalam program mandatori biodiesel sawit, terdapat 18 industri memperoleh jatah untuk penyedia biodiesel yang ditetapkan oleh ESDM, untuk menjalankan program B30. Namun, sayangnya tidak ada prasyarat kemitraan dengan petani.
Menurut dia pihaknya melakukan tracking di lapangan, faktanya petani sawit swadaya tidak terhubung sama sekali dengan program mandatori biodiesel, dalam radisu 5 Km saja di sekitar wilayah produsen biodiesel petani swadaya tidak diperhatikan atau tidak diajak bermitra. (ANTARA)