Jakarta, Gatra.com – Setelah 14 tahun memerankan karakter fiktif buatan Ian Flemming, No Time to Die resmi menjadi film terakhir Daniel Craig sebagai James Bond. Melalui film Bond kelimanya ini, Craig mencatatkan diri sebagai tokoh Bond terlama mengalahkan rekor Sir Roger Moore yang eranya berlangsung selama 12 tahun antara Live and Let Die (1973) serta A View to Kill (1985). Sebagai penutup karirnya selaku mata-mata dari Dinas Intelijen MI6 Inggris, Craig menyajikan aksi laga yang memuaskan diwarnai drama tak terduga. Berikut resensi film No Time to Die, yang tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai hari ini, Kamis (30/9).
Biasanya, film layar lebar James Bond adalah satu entitas utuh yang mengisahkan aksi berbeda-beda dari tiap judulnya, dimana benang merah semata kesamaan karakter protagonis utama. Tapi di era Craig, rumah produksi Inggris pemegang hak cipta installment Bond, EON Productions, memutuskan untuk membuat cerita yang berkesinambungan. Inisiasi Craig sebagai agen ‘double-O’ dipaparkan dalam Casino Royale (2006) dan Quantum of Solace (2008). Skyfall (2021) mengungkapkan pentingnya masa lalu Bond. Sementara, No Time to Die adalah sekuel langsung dari Spectre (2015). Dengan demikian, bagi yang belum menonton Spectre, jelas akan sedikit kebingungan dengan tokoh dan konflik yang timbul di No Time to Die.
Kisah penutup Spectre menjadi titik pembuka No Time to Die, dimana Bond (Craig) dan Dr. Madeleine Swann (Léa Seydoux) sedang melaju mengendarai Aston Martin DB5 mereka di Italia Selatan yang indah. Keduanya siap ‘membakar’ masa lalu, memaafkan sosok-sosok di masa lampau, demi memulai masa depan baru berdua. Harapan muluk yang lantas buyar akibat sebuah ledakan dan serbuan pria bersenjata. Hingga akhirnya Bond terpaksa berpisah dengan kekasihnya itu.
Lima tahun berlalu, Bond kini memutuskan untuk pensiun dan menikmati hari-hari tenang di Pulau Jamaica. Di dunia nyata, Jamaica pernah menjadi rumah bagi Ian Fleming dan merupakan tempat dia menciptakan karakter Bond pada 1952. Fleming menulis 12 novel dan dua cerita pendek selama menetap di sana.
Kedamaiannya terusik ketika kawan lama Bond yang merupakan anggota CIA, Felix Leiter (Jeffrey Wright) membawa kabar buruk. Berita meresahkan yang sama juga datang dari agen 007 baru, Nomi (Lashana Lynch). Keduanya meminta bantuan Bond untuk menemukan ilmuwan berdarah Rusia, Valdo Obruchev (David Dencik) yang diyakini telah berhasil membuat material biologis yang bisa digunakan sebagai alat pemusnah massal.
Bond lantas menyanggupi permintaan itu dan berlayar ke Kuba. Dibantu agen lainnya, Paloma (Ana de Armas), keduanya sukses mengamankan Obruchev. Keberhasilan itu hanya sesaat karena Obruchev ternyata antek pria nyentrik, Lyutsifer Safin (Rami Malek) yang hendak menguasai material biologis tersebut. Atas nama misi balas dendam, tak disangka kalau Safin terhubung langsung dengan masa lalu Madeleine Swann dan organisasi Spectre, termasuk pemimpinnya Blofeld (Christoph Waltz).
Sejak Licence to Kill (1989), setelah 31 tahun berlalu, No Time to Die adalah film James Bond pertama yang menampilkan semua karakter kunci dengan lengkap: Leiter, M (bos MI6, diperankan Ralph Fiennes), Miss Moneypenny (sekretaris M, diperankan Naomie Harris), dan Q (analis MI6, diperankan Ben Whishaw). Ditambah faktor cerita yang jelimet, tak heran film Bond ke-25 ini tercatat sebagai film Bond terpanjang, yaitu berdurasi 2 jam 43 menit. Ditulis dan disutradarai oleh Cary Joji Fukunaga, yang merupakan sutradara musim pertama serial HBO TV, True Detective. Dengan demikian dia mencatatkan rekor sebagai orang Amerika Serikat pertama yang menjadi sutradara seri 007.
Menutup petualangan Craig, Fukunaga memilih mendemonstrasikan Bond yang penuh dengan aksi laga. Adegan-adegan khas film action mulai dari adu fisik satu lawan satu, baku tembak berulang kali, hingga kejar-kejaran mobil muncul di banyak scene. Hal yang tentu tak mudah bagi Craig yang kini sudah berusia 51 tahun. Dia adalah Bond tertua ketiga setelah Roger Moore yang berusia 57 tahun dalam A View to a Kill (1985) dan Sean Connery sekitar 53 tahun pada Never Say Never Again (1983).
Zaman ini adalah era di mana isu perempuan berdaya sedang marak diperbincangkan dan didukung. Hollywood tentu saja tak mau ketinggalan. Bagaimana Disney mengubah karakter-karakter princess mereka secara drastis menjadi sosok girl power, adalah salah satu contohnya. Apakah itu menciptakan putri baru yang tangguh seperti Moana (Moana, 2016) atau Raya (Raya and the Last Dragon, 2021), hingga mengubah ulang image ketika disajikan dalam format live action, seperti Belle (Beauty and the Beast, 2017) dan Mulan (Mulan, 2020).
Karakter klasik Bond pun turut pula disesuaikan dengan tren budaya masa kini. James Bond identik sebagai womanizer. Alih-alih di No Time to Die, dia bertransformasi menjadi pria yang punya sifat sebaliknya. Perempuan-perempuan di sekelilingnya bukan lagi untuk ditaklukkan, tapi menjadi rekan seimbang baik dalam pertempuran maupun dalam kehidupan.
Tak hanya soal kesetaraan gender, masalah rasisme pun coba dijembatani oleh film ini lewat kehadiran dua karakter perempuan berkulit hitam. Keduanya bukan peran ecek-ecek, tapi sosok penting untuk mewujudkan misi yang diemban Bond.
“Ada banyak debat soal bagaimana kami melanjutkan kisah cinta sembari mengeksplorasi tema yang menjadi poros dalam hidup Bond. Jadi, kepercayaan akan menjadi tema utama dalam film ini,” ujar salah satu produser, Barbara Broccoli.
Film No Time to Die tayang perdana di Inggris, Selasa (28/9) lalu. Indonesia dan Inggris menjadi dua negara pertama yang memutar No Time to Die di bioskop sejak hari ini, Kamis (30/9), sepekan lebih awal dibanding penayangan di Amerika Serikat.