Jakarta, Gatra.com – Anak yang menjadi yatim piatu karena orang tuanya meninggal dunia di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng) mayoritas remaja yakni usia 16-18 tahun. Sedagkan di Yogyakarta, mayoritas anak-anak SMP atau sederajat.
Advocacy Coordinator and Child Protection Spesialis, Tri Dewi Saraswati, dalam konfensi pers virtual bertajuk "#BersamaUntukAnak", pada Kamis (30/9), menyampaikan, ini merupakan data hasil rapid asesmen yang dilakukan SOS Children'sVillages Indonesia.
Dewi menjelaskan, pihaknya melakukan rapid asesmen di dua wilayah tersebut karena datanya lebih lengkap, yakni by name by address. Tadinya, SOS Children's Villages Indonesia akan melakukan asesmen di 11 wilayah.
“Dari 11 lokasi wilayah kerja kami, hanya ada 2 loksi yang datanya itu bisa kita olah dan kita pakai karena dalam rapid asesmen ini kami melakukan dengan metode reservasi dan wawancara sehingga dapat by name by address, data lengkap yang sangat diperlukan bagi kami," ungkapnya.
Sedangkan 9 wilayah lainnya, lanjut Dewi, akan dilakukan menyusul. Saat ini, sudah ada dua wilayah atau daerah yang datanya sudah diterima SOS Children's Villages Indonesia, di antaranya Kota Bandung, Jawa Barat.
Dewi menyampaikan, berdasarkan data yang diperoleh bahwa di Kota Semarang terdapat 407 orang anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya. “Ada 53 orang anak yang yatim piatu dari 407 anak,” ungkapnya.
Sedangkan di Yogyakarta, sebanyak 558 orang anak yang kehilangan salah satu orang tuanya. Dari 558 anak tersebut, sebanyak 28 orang merupakan yatim piatu karena semua orang tuanya meninggal dunia.
“[Di Yogyakarta] kami melakukan pengambilan dengan metode sampel jenuh, yaitu karena di bawah 30 maka kami ambil semua 28 yatim piatu," katanya.
Sedangkan untuk Kota Semarang, pengambilan sampelnya dengan metode purposive sampling, yaitu hanya mengambil 30 data yang bedasarkan jenis kelamin, usia, dan wilayahnya. Dari 30 data itu, yang valid sebanyak 26. Angka ini setelah tim melakukan verifikasi dengan melakukan kunjungan langsung kepada anak-anak atau pengasuhnya. "Empat data ternyata mereka itu yatim atau piatu," katanya.
Sedangkan untuk usia anak, lanjut Dewi, di Kota Semarang terdiri dari bayi sebanyak 4%, 6-12 tahun 32%, 13-15 tahun 20%, dan 16-18 tahun 44%. "Untuk Kota Semarang, anak yatim piatu ini mayoritas anak usia 16-18 tahun. Anak-anak remaja, usia SMA, SMK. Cukup tinggi, hampir 50% dan ada ada bayi yang waktu itu masih berumur 2 minggu kami kunjungi," ujarnya.
"Untuk DIY, bayi tidak kami temukan, di sini usia anak ada 36%, 27%, dan 37%. Di sini paling tinggi adalah usia SMP 37%. Selisih sedikit dengan SMA. Dari 28 anak yang yatim piatu di Kota Yogya itu ada 6 yang error [datanya], karena dia itu yatim atau piatu, atau sudah di atas usia anak," katanya.
Jadi, lanjut Dewi, variabel yang dipakai dalam asesment ini adalah anak yang kehilangan kedua-duanya, atau yatim piatu. "Secara jenis kelamin, anak yang kehilangan pengasuhan untuk Yogyakarta itu lebih banyak perempuan, untuk Semarang hampir sama," katanya.
Rapid asesmen ini mengenai 8 hal di lapangan, yakni area pengasuhan, nutrisi, akomodasi (tempat tinggal dan lingkungan), kesehatan, pendidikan, sosial emulsi, perlindungan, dan mata pencaharian atau livehood.
"Kota Semarang, dari area pengasuhan, itu mayoritas diasuh oleh nenek-kakek 42%. paman bibi 37%, kakak 17%, dan tinggal sendiri 4%. Sedangkan di Yogyakarta, anak-anak yang orang tuanya meninggal mayoritas diasuh oleh bibi dan paman sebanyak 60%, kakak 24%, nenek-kakek 4% serta ada yang masuk ke Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). "Di situ [LKSA] jadi satu dengan pesantren itu ada 12%," katanya.
Dari data di kedua kota ini, lanjut Dewi, terdapat temuan menarik. Di Kota Semarang, mayoritas anak yang orang tuanya meninggal adalah merupakan keluarga migran, atau bukan merupakan warga asli Semarang. Sedangkan di Yogyakarta, mereka orang tuanya asali Kota Yogya.
"Yang menarik di Kota Semarang ini, mayoritas kakek nenek yang sudah tinggal dngan anak ini sebelumnya. Setelah bapak ibunya meninggal, kekek nenek ini akhirnya yang mengasuh anak tersebut," katanya.
Kakek nenek yang awalnya tinggal bersama keluaga anak tersebut, kemudian orang tua anak tersebut meninggal dunia, maka kakek nenek itu tidak lagi mempunyai tulan punggung keluarga. "Kondisinya untuk Semarang lebih memprihatinkan," ungkapnya.
Sedangkan di Yogyakarta, karena mereka merupakan mayoritas warga asli kota ini, maka anak-anak yang orang tuanya meninggal dunia mempunyai keluarga besar di derah tersebut. “Ada paman bibi, jadi mereka ketika kakek nenek secara fisik tidak mampu, secara ekonomi tidak mampu mengasuh, itu ada keluarga yang siap mengasuh,” katanya.