
Jakarta, Gatra.com- Produktivitas kebun sawit Indonesia yang tinggi dalam menghasilkan minyak nabati mengungguli sumber minyak nabati lainnya. Seperti, kedelai andalan Amerika, rapeseed unggulan Eropa. Keunggulan sawi Indonesia itu membuat cemburu negara lain yang tidak memiliki sawit. Sehingga berbagai kampanye hitam didedahkan terhadap sawit Indonesia. Terutama dari Uni Eropa beranggotakan 27 Negara(UE-27).
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dan sigap menghadapi segala macam bentuk kampanye negatif sawit dari UE-27 tersebut dan terus melobi dengan cara cerdas.
Pemerintah RI juga terus berupaya memajukan industri sawit nasional dengan menerapkan kebijakan sawit berkelanjutan, antara lain, dengan mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan melalui Inpres nomor 6 tahun 2019 yang bertujuan melakukan penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur kapasitas pekebun.
Selain itu, menerbitkan Pepres nomor 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) yang bertujuan memperbaiki tata kelola sistem sertifikasi dengan membuka ruang untuk partisipasi, akuntabilitas, dan menyempurnakan kelembagaan ISPO.
Tujuh prinsip dasar ISPO adalah peningkatan usaha secara berkelanjutan, penerapan transparansi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, penerapan praktik perkebunan yang baik, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi, serta pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam, dan keanekaragaman hayati. “Dengan ISPO, sawit Indonesia akan semakin kuat di pasar luar negeri karena ISPO ini ibarat senjata pelindung,” ujar Moch Edy Yusuf.
Saat ini, kebijakan paling prioritas pemerintah untuk sawit adalah peremajaan sawit rakyat (PSR) yang bertujuan meningkatkan produktivitas tanaman lama, menyelesaikan legalitas lahan yang berada di kawasan hutan, meningkatan produktivitas pekebun swadaya yang berkorelasi dengan meningkatnya pendapatan.
“Program mandatori biodiesel juga konsisten dijalankan karena ini berdampak positif bagi perekonomian, bisa menghemat devisa dengan pengurangan impor solar sebesar USD8 miliar dan proyeksi pendapatan negara dari Rp 2,47 triliun,” ungkap dia.
Sementara itu, Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan mengatakan, ISPO merupakan senjata ampuh untuk melawan kampanye negatif sawit di Eropa.
Selama ini, UE selalu meminta sertifikat sawit berkelanjutan dan Indonesia sudah mempunyai ISPO untuk memenuhi tuntutan tersebut. Perusahaan sawit anggota Gapki sudah 80 persen yang kini mempunyai ISPO dan akan terus didorong penerapannya.
Sekretaris Jenderal Gapki Eddy Martono mengatakan, secara internal perusahaan kelapa sawit berupaya meningkatkan produktivitas seperti yang diminta pemerintah. “Peningkatan produktivitas ditempuh dengan peremajaan tanaman tua, pemupukan, dan lainnya. Untuk investasi baru sama sekali tidak ada,” kata Eddy.
Sejauh ini, perusahaan kelapa sawit anggota Gapki tetap peduli pada peningkatan produktivitas serta membantu pemerintah dalam percepatan peremajaan sawit rakyat.