Home Gaya Hidup Menjadi Anak Bajang di Masa Pandemi: Cara Kota Budaya Hadapi Covid-19

Menjadi Anak Bajang di Masa Pandemi: Cara Kota Budaya Hadapi Covid-19

Yogyakarta, Gatra.com - Sebagai warga Kota Yogyakarta, Setyo Adi (33) merasa senang dan betah tinggal di kota budaya. Maklum saja, pekerja swasta ini punya minat tinggi di bidang seni budaya dan sejarah.

Saban pekan, dia menyempatkan diri mendatangi museum, acara seni, pameran, dan ajang kebudayaan. “Menarik aja. Enggak bikin bosen. Apalagi di Yogyakarta selalu ada inovasi baru di acara-acara seni budaya itu,” kata dia.

Tapi itu dulu, sebelum Covid-19 menyerang. Meski sudah menjalani vaksinasi, ia masih membatasi aktivitas di luar rumah, terutama untuk bekerja. “Sekarang tidak semua acara diadakan langsung. Memang bisa nonton lewat online. Tapi sense-nya tetap beda,” tuturnya.

Saat ini Daerah Istimewa Yogyakarta dalam status Pembelakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3. Aktivitas yang menimbulkan kerumunan masih dibatasi, termasuk ajang seni dan budaya.

Namun, pada Senin (27/9), kerinduannya pada ajang seni budaya sedikit terobati. Setyo mendapat undangan untuk menghadiri pembukaan Museum Anak Bajang di Omah Petroek, di Pakem, Sleman.

Museum ini digagas budayawan Sindhunata dan menyimpan berbagai memorabilia dan karya dari para seniman. Saat pembukaan museum digelar Festival Anak Bajang yang disemarakkan oleh pentas seni, sendratari, dan aksi perupa melukis secara langsung.

Pembukaan festival digelar secara hibrida, baik secara langsung maupun disiarkan melalui dunia maya. Di lokasi, festival dihelat dengan undangan terbatas yang harus mematuhi protokol kesehatan, seperti cek suhu, cuci tangan dengan sabun, juga diwajibkan memakai masker dan jaga jarak.

Saat menjadi salah satu pembicara acara ini, Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa menjelaskan di Sleman terdapat 21 museum. Lantaran pandemi, jumlah kunjungan di museum-museum itu anjlok hingga 90 persen. “Pengunjung turun drastis,” katanya.

Menurut dia, museum semestinya tidak hanya menjadi tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah, melainkan juga memberi edukasi bagi masyarakat.

Di tengah pembatasan di masa pandemi ini, museum tetap berupaya melakukan menarik peminat, terutama melalui program jarak jauh, seperti acara bincang-bincang dan jelajah museum secara daring. “Kami akan terus melakukan pendampingan,” ujar Danang.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, menyebut festival tersebut bisa menjadi contoh bahwa kegiatan budaya bisa digelar di tengah PPKM. “Bisa kok asal memperhatikan fasilitas prokes,” ujar dia yang membuka acara itu.

Menurut dia, tantangan kegiatan budaya saat ini bukan hanya pada penyelenggara. Taoi juga pada masyarakat, sudah yakin belum. Mengembalikan orang ke ritme kegiatan kebudayaan itu jadi PR tersendiri. Keselatam hari ini menjadi kunci,” tuturnya.

Hilmar menjelaskan, pengelola museum juga mempertanyakan soal daftar tempat yang mulai boleh dikunjungi di masa pandemi ini. “Panduan besarnya sebenarnya sudah jelas. Tinggal masing-masing museum penerapannya di lapangan karena level PPKM daerah berbeda,” imbuhnya.

Hilmar pun menyatakan pandemi ini membuat kita sadar bahwa pada pentingnya kesehatan mental dan seni budaya sanggup menjadi ‘vaksin kultural’ atas kondisi manusia saat ini. “Saya berani bertaruh, saat ini kita tidak akan survive (secara mental) tanpa akses ke karya seni dan budaya,” ujarnya.

DIY pun terus berupaya menurunkan level PPKM, terutama dengan menggenjot vaksinasi Covid-19. Sebagai daerah yang lazim disebut sebagai kota budaya, Yogyakarta bahkan menggelar vaksinasi dalam balutan seni dan budaya.

Pada hari yang sama dengan festival itu, di Keraton Yogyakarta digelar vaksinasi dengan menghadirkan live painting atau melukis langsung di lokasi bersama 10 perupa kondang. Lukisan akan dilelang dan hasilnya untuk membantu warga terdampak Covid-19. Vaksinasi selama dua hari itu diikuti sekitar 2000 pelajar Nusantara di DIY.

Istri Gubernur DIY, GKR Hemas, yang hadir di acara, menyebut keterlibatan seniman dalam vaksinasi menjadi bentuk keistimewaan masyarakat DIY yang kental dengan jiwa kegotongroyongan. Seni dan budaya menjadi nadi DIY dan mampu mendukung kebangkitan segala aspek, dari pendidikan ekonomi, dan kali ini di bidang kesehatan.

“Upaya menghadapi tantangan hidup dengan semangat kebersamaan ini kiranya dapat diikuti komponen masyarakat lain dalam berbagai bentuk gerakan sosial yang beraneka rupa secara berkesinambungan,” kata GKR Hemas.

Sumbangsih itu terekam dalam capaian capaian vaksinasi di DIY. Hingga Selasa (28/9), seperti tercatat di data Pemda DIY, suntikan vaksin dosis pertama mencapai 80,61 persen dari target 2,8 juta orang di DIY. Tingkat kasus positif Covid-19 di DIY pun di posisi rendah, di bawah 1 persen selama tiga hari berturut-turut.

Spirit kemanusiaan yang mencuat untuk bahu membahu mengatasi pandemi ini cocok dengan karakter anak bajang dalam pewayangan seperti dinarasikan budayawan Sindhunata dalam novelnya. "Figurnya jelek, tapi berbudi luhur. Tidak sempurna, tapi menghayati nilai-nilai kemanusiaan," kata dia. 

1251