Home Kolom Eks Kepala BAIS Angkat Bicara Soal Indonesia Coast Guard

Eks Kepala BAIS Angkat Bicara Soal Indonesia Coast Guard

Bakamla, Coast Guard Palsu, dan Argumentasi Hukumnya

Oleh: Soleman B. Ponto*

 

Sehubungan dengan penjelasan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) Badan Keamanan Keamanan Laut (Bakamla), Kolonel Wisnu Pramandita di sejumlah media yang menolak pernyataan Bakamla sebagai coast guard atau coast guard palsu, saya merasa perlu memberikan pandangan.

Wisnu membeberkan dasar tugas dan kewenangan Bakamla sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, khususnya pasal 59 ayat 3 dan pasal 63 undang-undang tersebut.

“Kami (Bakamla) itu mengkoordinasi dari semua elemen institusi yang bertugas di wilayah laut dan perairan Indonesia,” ujar Wisnu Pramandita dilansir JawaPos, pada Senin, 27 September 2021.

Dirinya menyanggah dan menolak anggapan Bakamla bukan sebagai Indonesia Coast Guard. “Pernyataan itu sama sekali tidak berdasar dan justru berbahaya bagi keamanan laut di Indonesia,” kata Wisnu. Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Kolonel Wisnu secara tidak langsung telah membuka apa sebenarnya Bakamla. Tanggapan itu didasarkan atas pernyataan-pernyaan yang disampaikan pada media sosial.

Misalnya, pada pasal 59 ayat 3 UU nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia dibentuk Badan Keamanan Laut”.

Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan “penegakan hukum” oleh Bakamla? Dalam UU 32 Tahun 2014 tentang Kelautan tidak menjelaskan sama sekali tentang hal itu. Sebagai contoh, penjelasan huruf b pasal 9 UU Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjelaskan bahwa penegakan hukum oleh TNI AL terbatas pada pengejaran, penangkapan, penyelidikan dan penyidikan. TNI AL tidak melaksanakan pengadilan. Dengan demikian dapat dikatakan “penegakan hukum” oleh Bakamla itu tidak jelas.

Selanjutnya, pada pasal 61 UU 32/2014 tentang Kelautan dinyatakan bahwa Tugas Bakamla melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Lalu, apa yang dimaksud dengan patroli keamanan dan keselamatan ini? Undang-Undang 32 Tahun 2014 tentang Kelautan tidak menjelaskan sama sekali tentang hal itu.

Kita lihat arti kata “patroli” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Arti kata patroli adalah perondaan (oleh polisi, tentara dan sebagainya). Jadi, patroli keselamatan dan keamanan adalah perondaan keamanan dan keselamatan. Ini tugas yang tidak jelas untuk apa?.

Bedakan dengan tugas Penjaga Laut dan Pantai sebagaimana diatur pada Pasal 277 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang selengkapnya berbunyi: Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat 1 penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas: (1) Melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran, (2) Melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut, (3) Pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal, (4) Pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut, (5) Pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan (6) Mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.

Sementara, dalam Pasal 63 UU Nomor 32 Tahun 2014 dijelaskan tugas dan dan kewenangan Bakamla. Yakni, melakukan pengejaran seketika, memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut. Saya jelaskan satu persatu.

Melakukan Pengejaran Seketika

a. Menurut angka 5 pasal 111 UNCLOS, Hak Pengejaran Seketika (Right of hot pursuit), hanya oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.

b. Menurut pasal 1 angka 38 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, bahwa kapal yang digunakan oleh instansi pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya disebut Kapal Negara.

c. Menurut ayat 1 pasal 279 Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Penjaga Laut dan Pantai (PLP) dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai Kapal Negara atau pesawat udara negara.

Jadi, Pengejaran Seketika hanya boleh dilakukan oleh KRI dan kapal yang berstatus Kapal Negara (KN). Bakamla bukan KRI dan juga bukan KN sehingga tidak boleh melakukan Pengejaran seketika. Pengejaran seketika yang dilakukan oleh Bakamla adalah bentuk dari pelanggaran hukum.

Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk proses hukum lanjut.

Ayat (1) Pasal 7 KUHAP menyatakan, bahwa hanya penyidik berwenang untuk menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; melakukan pemeriksaan serta dan penyitaan surat. Oleh karena Bakamla bukan penyidik, maka Bakamla tidak berwenang untuk memberhentikan, memeriksa, atau menangkap kapal.

Penyataan Kolonel Wisnu di media tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Tidak ada satupun pasal dalam UU 32 Nomor 2014 tentang Kelautan yang menyatakan Bakamla sebagai koordinator di laut. Bagaimana mungkin menjadi Koordinator, sedangkan Bakamla bukan penyidik? Jelas tidak mungkin.

Yang menjadi koordinator penegak hukum di laut adalah Penjaga Laut dan Pantai sebagaimana yang diatur huruf a ayat 2 pasal 277 UU 17/2008 tentang Pelayaran yang berbunyi sebagai berikut : Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan koordinasi untuk: (a) merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut.

Saya perlu membantah pernyataan Kolonel Wisnu yang menyebut, ada pihak-pihak memberikan penyesatan cara pikir dalam penggunaan laut. Hal itu berisiko pada ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam menjamin keamanan dan keselamatan serta penegakan hukum di laut.

Tanggapan saya jelas, Bakamla dalam operasinya menggunakan IDENTITAS PALSU. Tulisan “Indonesia Coast Guard” pada Kapal Bakamla jelas palsu. Bakamla menggunakan identitas seakan-akan sebagai Coast Guard. Telah diketahui bahwa Bakamla dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Tidak ada satu pasal pun dalam undang-undang itu yang menyatakan, Bakamla dibentuk untuk menjadi Coast Guard. Jadi, status Coast Guard Bakamla adalah palsu. Yang berhak menyandang identitas Coast Guard adalah Penjaga Laut dan Pantai. Mereka adalah Coast Guard-nya Indonesia sebagaimana tertulis pada penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam undang-undang ini adalah pembentukan institusi di bidang Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh menteri. Penjaga Laut dan Pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran.

Terakhir, pernyataan Kabag Humas Bakamla, Kolonel Wisnu Pramandita, dianggap sebagai pendapat pribadi yang tidak punya landasan hukum. Tidak ada satu pasal pun dalam UU 32/2014 tentang Kelautan yang menjadi dasar hukum pembentukan Bakamla yang menyatakan bahwa Bakamla hadir sebagai koordinasi untuk mensinergikan seluruh instansi yang ada di laut. Selain itu, semua instansi yang ada di laut mulai dari TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea Cukai, dan Polair, semuanya berstatus sebagai penyidik, sedangkan Bakamla bukan penyidik. Bagaimana mungkin yang bukan penyidik menjadi koordinator para penyidik di laut? Ini gagal paham namanya.

*Penulis pengamat militer dan kelautan. Mantan Kepala Badan Intelijen dan Strategis (BAIS)

1505