Jakarta, Gatra.com – Pengamat militer Soleman B. Ponto mengatakan, Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, gagal paham sehingga menyebut Badan Keamanan Laut (Bakamla) harus disahkan menjadi Penjaga Pantai Nasional atau National Coast Guard melalui legislasi.
Soleman pada akhir pekan ini menyampaikan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang menjadi dasar pembentukan Bakamla, tidak terdapat satu pasal pun yang menyatakan Bakamla harus menjadi National Coast Guard.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) ini menyampaikan, yang berhak menyandang identitas Coast Guard adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). Coast Guard juga anggotanya adalah sipil. Sementara Bakamla, bukan seperti polisi yang bisa menilang jika terjadi pelanggaran.
Dengan demikian, tandas Soleman, pandangan bahwa Bakamla sebagai Coast Guard adalah palsu. "KPLP adalah Coast Guard-nya Indonesia sebagaimana yang tertulis pada penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran," ujarnya.
Lebih jauh Soleman mengungkapkan, pandangan Bobby bahwa keberadaan kapal Cina di Laut Natuna Selatan gegara belum adanya payung hukum atau legislasi yang mengatur kekuatan Bakamla juga keliru. "Salah besar itu pernyataan Pak Bobby," katanya.
Soleman menjelaskan, sesuai UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, tidak ada yang menyatakan Bakamla sebagai penegak hukum atau penyidik. Oleh karena itu, tugas Bakamla hanya muter-muter di laut.
Adapun untuk pertahanan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di laut, sudah jelas merupakan tugas dari TNI AL sebagaimana amanat UU No 5 Tahun 1983, yakni penegakan hukum di wilayah ZEE adalah TNI AL.
"Adanya Bakamla justru menambah ruwet di laut.? Bakamla bikin kisruh dan lembaga itu sebaiknya dilebur dengan KPLP saja," ujarnya.
Soleman pun menyampaikan, pernyataan Bobby adalah penggiringan opini atau pembelaan seakan-akan yang dilakukan Bakamla adalah benar. "Sebagai anggota DPR, Pak Bobby jangan lakukan itu, saya sebagai mantan perwira TNI AL tidak terima," tandasnya.
Soleman menduga ada pihak-pihak yang membela Bakamla karena berharap sesuatu dari badan tersebut. Padahal, selama Bakamla berdiri, justru pengadaan peralatannya berujung korupsi, seperti pengadaan radar. Jika tetap dipertahankan maka yang menjadi korban dan dirugikan adalah tetap rakyat.
"Yang jadi korban rakyat, karena perairan Indonesia dianggap high risk yang pada akhirnya membuat biaya menjadi tinggi dan harga-harga barang menjadi mahal. Masyarakat yang menanggung kerugian," ujarnya.
Sementara itu, pengamat maritim dari National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, kepada wartawan menyampaikan, anggota dewan harusnya memahami hukum kelautan yang berlaku internasional termasuk soal Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Ia mengungkapkan, pihaknya yang mempertanyakan soal keberadaan kapal perang Cina di Laut Natuna Utara juga harus bersikap fair. Pasalnya, di wilayah internasional itu ada juga kapal perang dari berbagai negara, di antaranya Amerika Serikat, Perancis. Dengan demikian, mereka juga harus mengkritisi keberadaan kapal perang dari Amerika Serikat, Prancis, Thailand, Vietnam, dan negara lainnya.
Rusdi menjelaskan, ?dalam hukum kelautan internasional Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak masuk wilayah negara manapun. Karena wilayah internasional maka kawasan itu bebas dilewati oleh berbagai kapal negara lain, termasuk militer dan lainnya.