Jakarta, Gatra.com – Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Erik Somba, mengatakan, media massa di era digital dihadapkan pada beberapa kondisi untuk tetap eksis menyampaikan informasi secara akurat dan benar serta masalah pemasukan untuk menghidupi dapur perusahaan.
Erik dalam webinar bertajuk "Quo Vadis Jurnalisme Vs Korporasi di Era Digital" pada pekan ini, mengawali paparannya soal dua buku teranyar mengenai jurnalistitk, di antaranya "Postjournalism and death of newspapers" karya Andrey Mir.
"Isinya bagaimana cara media bertahan dan menegakkan pengaruhnya. Yang kedua, adalah kenapa Google mendominasi advertising market," katanya.
Menurut kedua buku tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi media, yakni kualitas sumber daya manusia (SDM), kultur jurnalis, banyaknya jumlah media, hingga bagaimana mendapatkan pendapatan agar tetap terus eksis.
Soal mutu jurnalis, lanjut Erik, persoalan ini bukan hanya terjadi di negara-negara berkembang, tetapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Wartawan kadang malas untuk menggali informasi meski saat ini untuk mendapatkan data sangatlah mudah.
"Perpustakaan kita sangat besar, kita punya seach engine, ada banyak literatur, faka yang membuat kita bisa lebih cerdas, lebih clear melihat sesuatu peristiwa," katanya.
Ini berbeda dengan zaman dahulu, untuk mencari background atau profil orang atau perusahaan relatif sangat sulit. Ini bisa didapatkan dengan mengunjungi perpustakaan maupun bertanya kepada orang yang benar-benar tahu.
"Sekarang industri komunikasi sangat maju, itu data banyak banget, tinggal kita pilih yang bagus dan cocok untuk pemberitaan itu. Itu pun enggak dilakukan, kan sedih," ucapnya.
Erik melanjutkan, banyaknya jumlah media juga menjadi persoalan di banyak negara tak terkecuali Indonesia. Ia menyebut ada sekitar 4.300-4.500 portal berita atau media di Indonesia.
"Itu dari mana uangnya. Semuanya rombongan, ramai-ramai sampai inflasi jurnalis, karena banyak orang bisa mengaku jurnalis, enggak jelas sertifikasiya dari mana dan mereka pemilik kebenaran. Mungkin di Jakarta sedikit, tetapi di daerah itu problem yang sangat besar," ungkapnya.
Menurut Erik, kaitannya mengapa Google mendominasi pasar, semua media eufori berpikir bagaimana bisa menjadi media berpengaruh dan mendapat support iklan. Padahal, untuk menuju media yang mendapatkan iklan, prosesnya cukup panjang.
"Sama sperti YouTuber, orang berlomba-lomba membikin konten dan mendapat iklan dan sebagainya. Padahal, untuk orang yang perpengaruh atau dilihat banyak masyarakat, itu kan tergantung konten dan momentum. Itu yang tidak disadari oleh para pembuat media di Tanah Air dan luar negeri, itu pada akhirnya membuat banyak media menjadi pengejar cuan pengabdi algoritma," katanya.
Dengan demikian, lanjut Erik, yang dipikirkan adalah bagaimana agar mesin pencari ini melihat konten itu berkaitan tidak dengan SEO yang sekarang lagi tren. "Sekarang menjadikan orang ingin membuat yang ramai, konten nomor dua," katanya.
Terlebih lagi bagi media digital, faktor kecepatan sangat penting. "Udah cepat muncul, cepat juga menyalahkan orang dan sebagainya, ini sesuatu yang tidak baik, terutama bagi korporasi itu terzalimi, bagaimana kita menghadapi itu, itu yang dihadapi juga oleh Asosiasi Media Siber Indonesia," ujarnya.
Beban AMSI, kata Erik, bukan hanya soal kode etik dan kepercayaan terhadap jurnalis, namun juga bagaimana meningkatkan kemampuan mereka serta terus mendorong agar perusahaannya tetap hidup.
"Media besar untuk mengajari teman-teman baru atau start up, bagaimana ekosistem bisnis yang sehat, tidak tergantung dengan iklan pemerintah daerah, pihak tertentu, tidak masuk di black area," katanya.
Gegara mengejar cuan, persoalan clickbait juga terjadi di banyak negara karena konten atau berita hits ini pastinya berpotensi menghasilkan cuan atau pemasukan. Pengiklan juga kadang hanya melihat hits sebagai patokan.
"Misalnya, ada situs-situr abal-abal dapat iklan dari brand-brand besar. Juga yang kita upayakan sosialsasi kepada pemilik-pemilik brand juga, bahwa pakailah kanal-lanal yang accredited, yang certificated," katanya.