Jakarta, Gatra.com- Sektor industri oleokimia berbasis pengolahan minyak sawit menghasilkan produk yang sangat diminati konsumen global di masa pandemi. Di antaranya adalah produk oleokimia sabun dan glycerine (bahan baku hand sanitizer) yang dipakai untuk kebersihan dalam rangka memutus rantai penyebaran virus COVID-19. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menjadikan industri oleokimia sebagai salah satu prioritas nasional sejak tahun 2010, dan konsisten memberikan dukungan agar sektor ini tumbuh mantap dan berkelanjutan.
“Kemenperin menyiapkan beberapa fasilitas dan dukungan bagi industri oleokimia agar tetap produktif, bahkan di tengah pandemi,” ujar Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika dalam Webinar “Meningkatkan Momentum Industri Oleokimia Indonesia di Pasar Global”, Kamis (9/9).
Fasilitas tersebut antara lain penerbitan dan monitoring Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) bagi perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri agar dapat tetap beroperasi di masa pandemi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. “Apalagi industri oleokimia termasuk dalam sektor kritikal yang dapat tetap beroperasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” tambah Putu.
Selanjutnya, industri oleokimia juga termasuk dalam sektor industri yang mendapat fasilitas Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yaitu harga beli di plant gate sekitar USD6/MMBTU sesuai Perpres No. 40 tahun 2016. Fasilitas ini telah diterima oleh sekitar 20 pabrik oleokimia dari 11 perusahaan dan dirasakan sangat efektif dalam mendukung daya saing produk ekspor industri oleokimia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum APOLIN Rapolo Hutabarat memberikan apresiasi dan terima kasih kepada Kemenperin yang telah konsisten mendukung kebijakan HGBT, sehingga kinerja industri oleokimia dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan pasar.
Kebijakan primer lain yang bermanfaat mendukung kinerja industri oleokimia adalah penetapan tarif pungutan ekspor bahan baku CPO dan/atau CPKO lebih tinggi daripada produk intermediate/hilir, untuk menjaga pasokan bahan baku bagi industri oleokimia domestik. “Industri oleokimia juga memperoleh dukungan berupa advokasi tarif pungutan ekspor kelapa sawit CPO dan turunannya yang lebih pro-industri pengolahan, sesuai PMK No. 191/2020 juncto PMK 76/2021,” jelas Plt. Dirjen Industri Agro.
Putu menjelaskan, dukungan dan fasilitasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan industri oleokimia agar tetap berada pada momentum kinerja berketahanan tinggi (high resilience). “Kemenperin juga mendorong sektor industri oleokimia sebagai penghela program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), seiring percepatan-perluasan program vaksinasi COVID-19 masyarakat,” tandasnya.
Indonesia dikenal unggul sebagai pemasok minyak sawit di dunia. Pada 2020, total produksi minyak sawit nasional (CPO dan CPKO) mencapai 52,14 juta ton. Sedangkan menurut data Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), volume ekspor oleokimia pada Januari-Mei 2021 tumbuh 10,47% menjadi 1.664 juta ton, atau senilai USD1.536 juta, dibandingkan periode yang sama tahun 2020.
Pengolahan minyak sawit di Indonesia juga berpredikat unggul, bisa dilihat dari pergeseran ratio volume ekspor produk hilir dengan bahan baku/minyak sawit mentah yang saat ini mencapai 85% : 15%. Sekitar 160 jenis produk hilir telah mampu diproduksi dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/Biodiesel FAME. “Oleokimia juga merupakan bahan baku produk sanitasi yang banyak dibutuhkan masyarakat global. Di awal masa pandemi, terdapat kenaikan ekspor produk oleokimia personal wash hingga 26%,” jelas Putu.
Hilirisasi industri kelapa sawit dimulai dengan momentum pertama melalui penerbitan PMK No. 128 Tahun 2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. “Dengan melihat beberapa faktor yang bisa menjadi penggerak hilirisasi, seperti perubahan tren konsumen global yang lebih memilih produk terbarukan dan ramah lingkungan, kesadaran tinggi akan sanitasi diri pribadi dan lingkungan, serta mengutamakan modernitas produk nabati berkinerja tinggi dengan harga yang terjangkau, sektor industri oleokimia berpeluang mendapatkan momentum kedua yang punya magnitude lebih tinggi bagi pertumbuhannya,” jelas Putu.
Untuk itu, Kemenperin mengusulkan tiga strategi hilirisasi industri oleokimia di era pertumbuhan industri yang berkualitas dan berkelanjutan. Pertama, perluasan kapasitas produksi dan efisiensi biaya produksi pasca kelanjutan Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu. Kedua, efisiensi bahan baku minyak sawit untuk industri oleokimia melalui penggunaan minyak nabati industri IVO/ILO (Industrial Vegetable Oil/ Industrial Lauric Oil), menggantikan jenis CPO/CPKO food grade yang tentunya berharga lebih tinggi. Pada 2019, Kemenperin telah memfasilitasi penerbitan standarisasi kualitas produk IVO/ILO melalui SNI No. 8875:2020 minyak nabati industri sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar hijau (green fuel).
Selanjutnya, Kemenperin mengusulkan agar para pelaku industri melakukan komersialisasi hasil riset ppoduk hilir oleokimia menjadi skala industri dengan dibantu jasa fasilitas pilot plant industri yang sedang dibangun di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor milik Kemenperin.
“Pemangku kepentingan bisa memanfaatkan layanan jasa industri berupa pilot plant tersebut untuk mengangkat Tingkat Kesiapan Teknologi dan Tingkat Kesiapan Manufaktur. Hal ini agar hasil pengembangan teknologi oleokimia tidak terhambat proses antara riset skala laboratorium menuju ke komersialisasi industri, atau yang dikenal sebagai fenomena valley of death,” pungkas Putu.