Home Hukum Dahulu Pelemahan KPK Kerap Kandas, Wijayanto: SBY Berani Pasang Badan

Dahulu Pelemahan KPK Kerap Kandas, Wijayanto: SBY Berani Pasang Badan

Jakarta, Gatra.com – Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyampaikan pandangan mengapa pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap gagal atau kandas di era pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Wijayanto dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin (20/9), mengungkapkan, pelemahan KPK kerap kandas, misalnya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena presiden berani pasang badan menolak pelemahan KPK.

"Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak untuk menyetujui pelemahan KPK. Presiden pasang badan untuk membela KPK," ujarnya.

Wijayanto mengungkapkan, sejarah keinginan untuk memperlemah peran KPK sebagai ujung tombak dalam perang melawan korupsi memang telah terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Pada era SBY, lanjut dia, terjadi Cicak vs Buaya jilid 1, 2, dan 3 yang dipicu pernyataan Soesno Duadji, "Cicak kok mau melawan buaya". Namun upaya pelemahan itu selalu kandas karena Presiden SBY berani pasang badan untuk membela KPK.

Namun apa yang terjadi pada 2019 lalu ketika DPR justru mengesahkan amandemen UU KPK dalam ketuk palu yang hanya berlangsung sekitar 20 menit untuk perbincangan pengesahan amandemen UU KPK? Menjadi lebih tragis, ketika Presiden Jokowi tidak kunjung mengeluarkan Perppu agar membatalkan amandemen UU KPK tersebut.

"Presiden ditengarai justru menjadi bagian dalam proses pelemahan KPK dengan menyetujui apa yang telah diusulkan parlemen untuk merevisi UU KPK," katanya.

Menurut Wijayanto, dari jejak rekam selama reformasi bergulir, Presiden Jokowi menjadi kepala negara di era reformasi yang paling sukses melakukan pelemahan KPK dan tidak berbuat apa-apa untuk melawan pelemahan tersebut.

Tetap berlangsungnya pemecatan 56 pegawai KPK, lanjut Wijayanto, juga menjadi penanda lainnya betapa Jokowi menjadi presiden yang paling tidak peka dengan aspirasi rakyat. Hal itu terekam ketika terjadi protes dan demo-demo besar ratusan ribu mahasiswa di seluruh Indonesia bersama kelompok-kelompok masyarakat yang menolak amandemen UU KPK pada 2019.

"Pengesahan UU Omnibus Law dan UU Minerba pada 2020 sebagai contoh. Namun semua protes tersebut tidak didengar," katanya.

Ia mengungkapkan, berbagai analisa para ilmuwan politik internasional yang menyoroti perkembangan demokrasi di Indonesia memang menyatakan telah terjadi proses kemunduran demokrasi yang cukup parah di Indonesia, bahkan mengarah pada kembalinya otoriterisme.

"Rangkaian kejadian dalam contoh-contoh di atas telah menguatkan kesimpulan-kesimpulan tersebut," ujarnya.

Analisa struktur politik yang terjadi pun menyatakan bahwa terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia, tak lain berlangsungnya hal yang kurang lebih sama ketika masa Suharto berkuasa, yakni adanya konspirasi oligarki dengan penguasa untuk melanggengkan kekuasan dan kekayaan yang dimiliki.

"Hal lain dinyatakan, kenapa di era Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati tidak terjadi kemunduran serius dalam perkembangan demokrasi di Indonesia? karena para aktor politik yang terpilih secara demokratis tetap menjaga kualitas demokrasi agar tetap sehat," katanya.

Menurutnya, hal yang tragis terjadi pada era sekarang, para aktor politik pemenang pemilu dari pemilihan yang berlangsung secara demokratis, justru menjadi aktor-aktor politik yang terlibat dalam proses kemunduran demorasi dengan cara memunggungi demokrasi yang ada.

Proses kemunduran demokrasi yang berakibat serius pada KPK sebagai lembaga utama pengemban amanah reformasi, untuk tegaknya rule of law dalam penegakan hukum yang tidak pandang bulu melalui KPK, telah dinyatakan tidak lagi berfungsi alias mati.

"Kasus pemecatan 56 pegawai KPK mengindikasikan hal itu. Dari kemelut TWK di KPK diketahui, dari 13 kasus besar korupsi yang tengah disidik, 5 di antaranya justru sedang ditangani oleh para pegawai KPK yang dipecat," katanya.

Terkait kondisi ini, lantas apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil yang mendambakan kembalinya kualitas demokrasi dan kebebasan sipil menghadapi situasi seperti sekarang? Menurut Wijayato, adalah perlunya melakukan otokritik dan konsolidasi dari segenap unsur-unsur masyarakat sipil, termasuk pers atau media massa agar bersama-sama berjuang membangun sinergi untuk menyelamatkan demokrasi ke depan.

5354