Jakarta, Gatra.com - Selama 76 tahun berdiri sebagai Negara, Indonesia tentunya punya segudang kisah bersejarah yang bisa menjadi ilham perjuangan Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan sebagai negara di kemudian hari.
Jika kita mengenal kisah tersohor seperti perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan, Pidato Bung Tomo dalam membakar semangat rakyat Surabaya, maupun Kiprah Dwitunggal Soekarno-Hatta dalam Kemerdekaan Indonesia, maka pementasan Seri Monolog Di Tepi Sejarah mencoba menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada di pinggir cerita. Mereka yang mungkin tak pernah disebut namanya dan tak begitu disadari kehadirannya dalam narasi besar sejarah bangsa Indonesia.
Seri monolog ini merupakan hasil kolaborasi terbaru Kemendikbudristek, Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media, serta diprakarsai oleh Happy Salma dan Yulia Evina Bhara. Seri monolog ini coba mengangkat sisi lain dari kisah orang-orang yang berada di pusaran sejarah utama dan menjadi saksi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia.
Seri Monolog Di Tepi Sejarah ini selaku Produser dari Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media. Pentas ini juga merupakan kerja bersama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Baru, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Dalam pementasan ini, diangkat 4 judul monolog; Nusa Yang Hilang, Radio Ibu, Sepinya Sepi, dan Amir, Akhir Sebuah Syair. Yulia Evina Bhara, Produser dari KawanKawan Media, Di Tepi Sejarah merupakan upaya untuk menyediakan media alternatif dalam pembelajaran sejarah di Indonesia.
"Seni pertunjukan dapat menyampaikan isu terkini maupun masa lampau dengan sudut pandang yang lain dan karena sifatnya yang lentur, dapat dikemas dalam bentuk lintas media. Komponen seni pertunjukan seperti visual dan bunyi diharapkan menjadi stimulus bagi penontonnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang kisah yang diangkat," tulis Yulia dalam taklimat Media Daring, Senin (20/9).
Empat Judul Monolog, mengisahkan berbagai kisah sejarah yang mungkin belum banyak diketahui masyarakat. Untuk judul Nusa Yang Hilang misalnya, Monolog tersebur berkisah tentang seorang yang bernama asli Muriel Stuart Walker, wanita kelahiran Skotlandia yang tumbuh besar di Amerika. Ia kemudian pergi ke Bali dan berganti nama menjadi Ketut Tantri.
Ia pergi ke Bali, karena sebuah harapan dari film yang ditontonnya tentang keindahan Bali, tetapi kenyataan berkata lain. Ketut Tantri terlibat jaringan gerakan bawah tanah, ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Setelah Jepang menyerah, Ketut Tantri bergabung dengan para pejuang di Surabaya.
"Ia menjadi penyiar radio gerilya Barisan Pemberontak dengan siaran-siaran proganda berbahasa Inggris. Lewat corong radio, Ketut Tantri mewartakan semua kekejaman tentara Inggris pada rakyat Surabaya " tutur Yulia
Sedangkan Monolog, Radio Ibu bercerita tentang Riwu Ga seorang lelaki tua yang lahir di Sabu, Nusa Tenggara Timur, yang terus mengikuti Kiprah Presiden Soekarno dalam sebuah radio. Begitupun Monolog berjudul Sepinya Sepi, yang mengangkat kisah seorang perempuan tua Tionghoa, The Sin Nio yang berkeinginan ikut terjun ke kancah revolusi
Sedang judul terakhir, Amir, Akhir Sebuah Syair, berkisah tentang Amir Hamzah seorang sastrawan yang hidup di masa terjadinya revolusi sosial di Indonesia. Ia juga adalah keturunan dari Kesultanan Langkat. Bersama Armin Pane dan Sutan Takdir, Amir bergerak, berjuang demi Indonesia yang berdaulat dengan pena dan kata-kata, dengan sajak, roman, risalah, dan kisah kisah. Seri Monolog Di Tepi Sejarah telah dipentaskan melalui di Youtube Budaya Saya Kemendkibudristek dan Kanal Indonesiana.
Menurut Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, pementasan Seri Monolog Di Tepi Sejarah ini merupakan sebuah tontonan wajib. Karena dalam seri tersebut, terkisahkan cerita-cerita sejarah yang jarang dibahas di buku sejarah manapun.
"Selain itu karya ini mampu menarasikan sejarah dengan cara yang kreatif sehingga sangat menarik diikuti oleh semua umur khususnya adik-adik pelajar kita," ungkapnya.
Sedangkan menurut Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, pementasan Seri Monolog ini juga bermanfaat untuk menjelaskan bahwa rangkaian dalam memberi makna baru bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Hal ini dikarenakan ada sudut pandang lain dalam melihat peristiwa sejarah yang ditawarkan dalam seri monolog ini. DImana kontribusi sekecil apapun dalam perjuangan kemerdekaan juga begitu berarti.
"Tokoh-tokoh yang diangkat dalam pentas ini mewakili semangat perjuangan seluruh komponen rakyat Indonesia kala itu untuk keluar dari penjajahan. Semangat yang sangat dibutuhkan hari ini ketika Indonesia tengah berjuang melawan pandemi," tandasnya.