NTB, Gatra.com - Stigma negatif Poso sebagai daerah konflik nan berbahaya terlanjur melekat di benak masyarakat, khususnya warga dari daerah lain. Padahal saat ini, Poso sudah berubah menjadi daerah ramah nan asri, konflik sudah lama usai dan kedamaian sudah tercipta. Masyarakat Poso hidup damai dalam kemajemukan.
Guna menghapus cap daerah konflik yang kadung melekat untuk Poso, Mantan Panglima Muslim saat terjadi konflik di Poso Kiai Adnan Arsal angkat bicara mengenai konflik horizontal yang sempat terjadi di Poso, hingga akhirnya daerah tersebut menjadi sarang gerakan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dikepalai gembong teroris Santoso.
Santoso memang telah berhasil ditumpas, meski demikian sisa anak buahnya hingga kini masih bercokol di Poso, tepatnya di hutan Gunung Biru, yang terletak di Tamanjeka, Desa Masani, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Kiai Adnan yang kini menjabat sebagai Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Poso mengatakan, konflik Poso sudah lama selesai, maka dari itu stigma negatif tentang Poso daerah konflik dan tidak aman sudah tidak tepat disematkan ke Bumi Sintuwu Maroso itu.
Dalam acara bedah buku 'Muhammad Adnan Arsal, Panglima Damai Poso' di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Sabtu (18/9), Kiai Adnan menyampaikan, saat ini seluruh warga Poso hidup dalam kedamaian, antar umat beragama di Poso saling bahu-membahu memajukan Poso agar pembangunan dan kesejahteraan Poso bisa meningkat.
Selain itu dia juga menyampaikan teror yang terjadi di Poso bukanlah sisa-sisa dari konflik Poso yang lalu. Hal itu murni tindakan teror yang dilancarkan kelompok kecil sisa dari anak buah Santoso di Gunung Biru.
"Saya tidak ada di dalam otak untuk memberontak terhadap negara. Saya sampaikan kepada para mujahidin, kalau kita mau melawan negara, kita ini tidak sampai satu bulan habis. Kita harus belajar pada sejarah, bagaimana negara menumpas para pemberontak," ungkap Kiai Adnan di Pondok Pesantren Al Madinah, Bima, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (18/9).
Ia menceritakan, ketimbang berkonflik dengan negara, ia meminta kepada para mujahidin untuk berdamai dan bersama membangun Poso agar penduduknya dapat hidup damai dan sejahtera. Lewat pendidikan agar anak-anak bangsa di Poso mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan kesempatan untuk bersama-sama memajukan Poso.
"Tidak perlu naik gunung, kita sama-sama membangun Poso, kita lihat masa depan," ujarnya saat menceritakan pengalamannya berdialog dengan para mujahidin.
Alhasil, lewat cara tersebut dan dialog dengan para tokoh lintas agama di Poso, Bumi Sintuwu Maroso berhasil berdamai dan menyudahi konflik.
Meski demikian, tidak semua sepakat dengan apa yang diusulkan oleh Kiai Adnan. Ada beberapa orang yang ngotot dan naik ke Gunung Biru untuk tetap angkat senjata, dari situ ia tegaskan, para pemuda yang tetap ngotot angkat senjata dan berniat memerangi negara bukan bagian dari komunitas masyarakat di Poso, bukan bagian dari umat muslim Poso yang menghendaki perdamaian.
"Saya ultimatum saat itu, yang di Gunung Biru bukan kelompok saya. Yang kita mau, kita sama-sama di kota bersama dengan pemerintah gulirkan kebijakan-kebijakan pembangunan di Poso," jelasnya.
Menurutnya, kelompok yang masih bercokol di Gunung Biru adalah musuh bersama masyarakat Poso, bahkan musuh bersama umat Islam karena tindakan yang dilakukan MIT sudah bukan lagi demi kepentingan umat Islam Poso, mereka bahkan memerangi umat yang menghendaki perdamaian.
"Ormas Islam sudah menyatakan kelompok di Gunung Biru adalah musuh bersama. Karena tidak ada definisinya umat Islam memerangi umat Islam yang lain," tegas Kiai Adnan.
Apa yang dilakukan kelompok MIT itu sudah sangat brutal, Kiai Adnan melanjutkan, mereka membunuh petani, membunuh aparat negara, membunuh anggota TNI-Polri yang menjaga keamanan dan kedamaian di Poso. Itu sudah jelas bukan bagian dari masyarakat Poso, apalagi mengaku mujahidin pejuang Islam. Menurut Kiai Adnan, sudah jelas mereka adalah kelompok teror yang mengancam keamanan dan perdamaian masyarakat Poso yang majemuk dan damai.
"Kerja mereka hanya membunuh warga Poso, itu bukan jihad. Tidak ada jihad membunuh saudara sesama muslim," ucapnya.
Oleh karena itu, Kiai Adnan meminta negara, dalam hal ini seluruh stakeholder terkait untuk bahu-membahu menumpas dan menyelesaikan kelompok kecil sisa-sisa MIT di Gunung Biru agar kedamaian dan ketenangan warga Poso bisa berjalan dengan sepenuhnya.
"Apakah itu Densus 88, TNI-Polri, kita serahkan pada pemerintah. Kami warga Poso meminta kelompok yang di Gunung Biru diselesaikan, tinggal enam orang saja," ujarnya.
Bagi Kiai Adnan, saat ini perlengkapan negara dalam menghadapi musuh sudah canggih. Seharusnya tidak sulit menumpas sisa-sisa MIT yang masih bercokol di Gunung Biru. Tinggal bagaimana teknis di lapangan agar misi tersebut bisa berjalan lancar dan sukses.
"Malu kita kalau negara tidak bisa menumpas habis sisa-sisa di Gunung Biru tersebut," geramnya.
Jangan sampai, lanjut Kiai Adnan pemuda Poso datangi pemerintah guna meminjam senjata untuk menumpas sisa kelompok MIT di Gunung Biru. Menurutnya, pemuda-pemuda di Poso sudah sangat kecewa dengan negara yang dinilai lamban dalam menumpas kelompok teror tersebut.
"Kami sabagi anak bangsa geram, apa perlu pemuda Poso naik ke Gunung Biru, tumpas itu para pemberontak, kalau sudah selesai kami kembalikan senjata kepada negara," ungkapnya.
"Kami (masyarakat Poso) menderita selama kelompok teror di Gunung Biru belum diselesaikan oleh negara," imbuhnya.
Sementara itu, dalam sambutannya di acara yang sama, Wakil Bupati Bima Dahlan M. Noer, menyampaikan, kini sudah kurang tepat Kiai Adnan Arsal menyandang gelar Panglima Muslim Poso, karena saat ini Poso sudah damai, tidak ada lagi konflik yang terjadi.
"Saat ini kita panggil saja Panglima Perdamaian Kiai Adnan Arsal, tokoh yang akan selalu menjaga perdamaian di Poso," ujar Wakil Bupati Dahlan.
Oleh karena itu, arah perjuangannya dimaksudkan untuk selalu menjaga kerukunan dan kedamaian di Poso. Menurut Dahlan, apa yang dilakukan Kiai Adnan harus menjadi inspirasi bagi seluruh warga Bima untuk selalu menjadi pihak yang mengedepankan perdamaian, kerukunan ketimbang konflik di tengah masyarakat.
Pasalnya, meski Bima relatif kondusif, bukan berarti potensi konflik tidak ada. Versi Dahlan, konflik hadir akibat kelalaian dan masalah sepele yang tidak terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, Wakil Bupati menilai perlu semua pihak untuk menahan diri dan mengedepankan motivasi perdamaian agar tidak terjadi konflik di wilayah Bima.
"Kita harus mencontoh teladan Kiai Adnan Arsal dalam memperjuangkan perdamaian di Poso, terpenting tidak ada ruang untuk konflik di Bima," tegasnya.
Acara bedah buku tersebut juga dihadiri oleh Ketua MUI Bima Abdurrahim Haris, Penulis buku Khoirul Anam, Perwakilan dari MUI Pusat Najih Aromdloni, Ustaz Bunyamin selaku tuan rumah, Kapolres Kota Bima AKBP Henry Candra Novita, Kapolres Bima Kabupaten AKBP Heru Sasongko dan Dandim Bima Letkol Teuku Mustafa Kamal.
Kiai Adnan Arsal memilih Bima sebagai lokasi bedah buku lantaran pada saat terjadinya konflik di Poso, banyak warga Bima yang memilih berangkat ke Poso untuk ikut angkat senjata dalam konflik tersebut. Oleh karena itu, dengan bedah buku ini diharapkan warga Bima dapat memahami bahwasanya konflik Poso dapat berujung dengan damai dengan pendekatan dialog. Karena pada dasarnya konflik hanya membawa petaka bagi bangsa dan negara.