Sorong, Gatra.com – Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat baru-baru ini mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha pada empat (4) perkebunan sawit besar. Di antaranya PT Inti Kebun Lestari (IKL), PT Papua Lestari Abadi (PLA), PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT Cipta Papua Plantation. Perizinan perusahaan tersebut dicabut karena dianggap tidak melaksanakan kewajibannya dalam izin usaha perkebunan (IUP).
Pencabutan perizinan juga didasarkan hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dipimpin langsung oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat dan didukung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya tersebut sebelumnya menggugat keputusan Pemkab Sorong dan mengajukan kasus ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus lalu.
“Pencabutan izin ini kami lakukan berdasarkan laporan evaluasi menyeluruh pemerintah provinsi Papua Barat bersama beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Sorong dan KPK,” ujar Bupati Sorong, Papua Barat, Johny Kamuru dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Jumat (17/9).
Johny menyebut terdapat beberapa persoalan dalam tata kelola lahan oleh perusahaan. “Kami melihat bahwa lahan yang belum dimanfaatkan perlu dikembalikan ke Masyarakat Adat atau pemilik hak ulayat. Dengan demikian, lahan bisa bermanfaat untuk penghidupan mereka,” ucap Johny.
Bupati menyebut, kebijakan moratorium sawit menjadi salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong untuk melakukan evaluasi beberapa perusahaan sawit tersebut. Keberadaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari menurutnya juga menjadi dorongan terhadap evaluasi.
“Kami menyayangkan apabila moratorium sawit tidak diperpanjang, apalagi di tengah upaya kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” katanya.
Oleh banyak kalangan, langkah dari Bupati Sorong ini seharusnya mampu memperkuat perpanjangan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit yang akan berakhir beberapa hari ke depan.
Senada dengan Bupati Sorong, aktivis lingkungan dari Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan EcoNusa juga meminta pemerintah memperpanjang Inpres tersebut. Setidaknya terdapat empat catatan penting dari aktivis ke pemerintah agar memperpanjang moratorium sawit:
1. Tata kelola perizinan sawit belum selesai
Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya menjelaskan, di Indonesia terdapat 11, 9 juta ha izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin pada akhir 2020. “Dari data tersebut masih terdapat banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” jelasnya.
CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar menambahkan, evaluasi izin perlu didorong oleh pemerintah daerah agar tidak merugikan negara. Ia mengakui sampai saat ini, belum banyak pemerintah daerah yang melakukan tinjauan termasuk izin sawit di kawasan hutan Kalimantan dan sejumlah wilayah lainnya.
“Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara. Dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, ternyata hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit,” kata Bustar
2. Tata kelola produkivitas sawit masih belum maksimal
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad menyampaikan data Komisi KPK Tahun 2017 menemukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor CPO (Crude Palm Oil) sebesar Rp11 triliun di tahun 2016. Dari dana tersebut, sebanyak 81,8% dialokasikan untuk subsidi biodiesel, di mana yang mendapat porsi subsidi paling besar adalah pengusaha.
Nadia menyebutkan, dana perkebunan sawit saat ini lebih banyak digunakan untuk program subsidi biodiesel, porsinya lebih banyak ke pengusaha dan tidak banyak menyentuh petani sawit. “Dana perkebunan sawit seharusnya dapat digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan dan produktivitas perkebunan sawit. Misalnya, peremajaan perkebunan sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan SDM di sektor perkebunan sawit”.
Nadia menegaskan moratorium ini perlu diperpanjang agar produktivitas lebih maksimal dan bagian hasil perimbangan antara pusat dan daerah bisa lebih jelas. “Pemerintah perlu membuat semacam formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit. Studi yang kami lakukan menemukan bahwa penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran, sehingga tidak bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani sawit,” tutur Nadia.
3. Memastikan landasan peraturan untuk sektor sawit yang berkelanjutan
Munculnya Peraturan Pemerintah yang baru sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang terkait sektor sawit, yakni PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan juga PP Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Menurut Teguh, ketentuan itu disinyalir tidak mampu menjamin masa depan tata kelola sawit yang lebih baik dan berkelanjutan. “Peraturan Pemerintah turunan dari PP Nomor 23 dan PP Nomor 24 UUCK tidak tegas mengatur bahwa sawit tidak boleh ekpansi di kawasan hutan. Malah sebaliknya memperbolehkan konversi kawasan hutan yang dibuka untuk sawit,” ungkapnya.