Jakarta, Gatra.com – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Suharso Monoarfa mengatakan transparansi data pemilik manfaat usaha yang sesungguhnya alias beneficial ownership (BO) sangat penting. Sebab, data itu bisa mencegah potensi penyalahgunaan korporasi.
“Sayangnya, baru 22,36% korporasi yang melaksanakan deklarasi data beneficial ownership. Ini mungkin karena banyak korporasi yang belum memahami dan kita perlu memahamkan hal tersebut,” ungkap Suharso, Kamis (16/9).
Suharso menuturkan, data BO yang sangat minim dapat mengakibatkan peningkatan potensi penyalahgunaan korporasi dalam hal TPPU, TPPT, hingga tindak pidana korupsi. Selain itu, juga menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan investor akibat asimetri informasi.
“Kita lihat di negara-negara surga pajak sekarang sudah mulai redup. Itu dipakai karena komitmen global tentang BO. Mereka tidak mau dianggap ternyata dibuat untuk penyalahgunaan TPPU, terkait narkoba, terorisme, dan tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Menurut Suharso, penerapan transparansi BO yang tidak optimal akan sangat berpengaruh terhadap beberapa indikator global dalam menentukan peringkat ease of doing business (EoDB). Data BO yang transparan juga bisa mendukung upaya penegakan hukum dan meningkatkan investasi.
Laporan Ernst & Young (EY) 14th Global Fraud Survey 2016 mengungkapkan, 91% pemimpin bisnis di dunia menganggap penting untuk mengetahui informasi penerima manfaat akhir (BO) atas entitas yang melakukan hubungan bisnis dengan mereka.
Studi lain yang dilakukan Transparency International mengenai Doing Business 2020 menunjukkan, nilai transparansi korporasi yang semakin baik akan meningkatkan corruption perception index (CPI) negara tersebut.
“Pada 2020, penerapan kebijakan transparansi data BO meningkat menjadi 33 negara, dari [sebelumnya] 16 negara di tahun 2018. Kita bersyukur bahwa di antara 33 negara itu, bahkan di antara 16 tadi, termasuk Indonesia,” katanya.