Home Politik Dipo Alam Sebut 3 Cacat Peleburan Lembaga Riset ke BRIN

Dipo Alam Sebut 3 Cacat Peleburan Lembaga Riset ke BRIN

Jakarta, Gatra.com – Mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dipo Alam, mengatakan, ada 3 cacat kebijikan peleburan lembaga-lembaga riset dan LIPI ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional serta adanya Dewan Pengarah BRIN.

Dipo dalam diskusi daring bertajuk "Politisasi Sains dan Lembaga Riset" pada Rabu malam (15/9), awalnya menyampaikan bahwa kebijakan tersebut memuculkan pertanyaan soal kajian ilmiahnya termasuk juga studi perbandingan atau referensi yang dijadikan acuan dalam kebijakan peleburan tersebut.

"Terdapat tiga cacat serius dalam pembentukan BRIN yang melebur lembaga riset dan LIPI dalam satu struktur organisasi BRIN," ujarnya.

Pertama, kata Dipo, adanya cacat mental. Pembentukan BRIN beserta adanya Dewan Pengarah BRIN menjadi cacat karena tidak didapat atau sulit ditemukan referensi untuk membandingkan kajian model pembentukan BRIN dan adanya Dewan Pengarah di dalamnya.

"Hal itu hanya dapat diperbandingkan dengan struktur organisai politik Partai Komunis China (PKC) di mana adanya Dewan Pengarah," katanya.

Kedua, lanjut Dipo, cacat formil. Keberadaan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan riset di Indonesia telah diperintahkan oleh Undang-undang (UU) No. 11 Tahun 2009 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahun dan Teknologi (IPTEK), namun kelembagaan BRIN hanya diatur melalui Keputusan Presiden (Kepres).

"LIPI dibentuk oleh UU Nomor 6 Tahun 1956 juga oleh Ketetapan LPI melalui Tap MPRS No. 18b Tahun 1967. BATAN dibentuk oleh UU No 31 Tahun 1964 dan diperkuat oleh UU No 10 Tahun 1997," katanya.

Berdasarkan dasar hukum tersebut menimbulkan pertanyaan, sejak kapan sebuah Kepres boleh melangkahi bahkan menganulir undang-undang Tidak ada satu pun Pasal di UU Omnibus Law yang menyebutkan adanya perintah untuk melebur lembaga-lembaga Ilmu pengetahun dan riset.

"Menjadi masalah serius, di mana BRIN malah mem-bypass semua undang-undang yang membentuk semua lembaga riset. Bahkan, kesemuanya hanya dibubarkan melalui sebuah Kepres," katanya.

Ketiga, cacat mental. BRIN yang dibentuk lewat Kepres No. 33 Tahun 2021 tidak lagi didasari oleh spirit dari riset dan inovasi yang benar. Keberadannya tidak lagi mencirikan sebuah organisai riset level negara, tetapi sudah mirip ormas atau lembaga politik. Terlebih dengan adanya stuktur Dewan Pengarah di dalamnya.

Padahal, lanjut Dipo, dalam Perpres BRIN lama No. 74 Tahun 2019 tidak disebutkan adanya struktur Dewan Pengarah. Pada Pasal 4 hanya disebutkan Struktur lama terdiri dari Kepala, Sekretaris Utama, Deputy Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan, dan Deputy Bidang Penguatan Inovasi.

Keberadaan Dewan Pengarah jelas bermasalah dan amat tidak lazim seperti halnya sebuah organisasi atau lembaga riset. Hal tersebut hanya lazim berada di partai politik atau ormas. Dari situ dapat disimpulkan tentang adanya orang kuat yang bisa mengarahkan jalannya organisasi riset dan ilmu pengetahuan.

"Keberadaan orang kuat hanya biasa terjadi di negara-negara komunis. Lagipula, posisi kepala BRIN terlihat hanya bersifat adminstratif. Wewenang strategis pada Pasal 6 Kepres BRIN semua dipegang oleh Dewan Pengarah," katanya.

Dengan demikian, tandas Dipo, terlihat secara umum keberadaan BRIN hanya sebuah akrobat politik dari sementara pihak yang lebih besar interest sumber daya ekonomi dari anggaran riset yang sepertinya digelembungkan.

"Dahulu pada anggaran 2017 UKP PIP Setkab hanya Rp7 miliar per tahun. Setelah ada anggaran konsolidasi masuk ke BRIN menjadi Rp16,6 triliun per tahun," ungkapnya.

Menurut Dipo, hal tersebut menjadi ironis di tengah pandemi dan resesi ekonomi seperti sekarang yang memaksakan pembentukan organisasi yang belum jelas blue print-nya, dan akan mengelola aggaran besar yang patut dipertanyakan.

"Sementara itu, Ketua Dewan Pengarah juga seorang ketua partai politik dan unsur Dewan Pengarah sebuah lembaga pembinaan ideologi BPIP, tentu dipertanyakan," katanya.

Menurutnya, di negara totaliter seperti Cina sekali pun, integrasi lembaga riset hulu ke hilir belum pernah ada modelnya. Di sana lembaga ristek menjadi pengambil kebijakan dan kebijakan hasil lembaga riset tersebut di-share ke lembaga-lembaga lain.

"Jadi tidak ada model integrasi lembaga riset hulu ke hilir. Begitu pula di Korea Selatan, pada lembaga Korea Institute Science and Technology, juga pada lembaga KAIS [Korean Advance Institute of Science and Technology]," katanya.

578