Home Politik Politisasi Riset Ciri Mundurnya Kualitas Demokrasi Indonesia

Politisasi Riset Ciri Mundurnya Kualitas Demokrasi Indonesia

Jakarta, Gatra.com – Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, Ekonomi, dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menyampaikan, salah satu tanda menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia, yakni terjadinya politisasi riset.

Saat ini, kata Wijayanto dalam diskusi daring bertajuk "Politisasi Sains dan Lembaga Riset" pada Selasa malam (15/9), kebijakan riset di kampus-kampus justru menjadi legitimasi dari kebijakan pemerintah.

"Bukannya sebuah Kebijakan pemerintah dievaluasi dahulu dengan riset yang benar dari akademisi kampus dan dinilai berdasar standar akademis?" ujarnya.

Sebagai contoh, lanjut Wijayato, pada Januari 2021 saja telah terjadi 100-an lebih bancana alam. Sebab terbanyak ditengarai dari rusaknya lingkungan, ruang terbuka hijau yang berganti menjadi perumahan dan gedung, daerah aliran sungai yang juga rusak, dan lain-lain.

"Ironisnya, dunia akademis malah memberikan rekomendasi dari sebuah kebijakan yang nyata-nyata tidak lulus AMDAL, misalnya," kata dia.

Menurutnya, hal itu juga terjadi pada sikap dan kebijakan para pejabat tinggi di Indonesia yang cenderung anti-science dan mengabaikan suara-suara akademisi tentang sikap yang benar menghadapi awal merebaknya pandemi Covid-19.

Ciri menurunnya demokrasi lainnya, terjadi politisasi ilmu pengetahuan dan dunia akademik. Dunia akademisi kampus saat ini lebih didominasi oleh urusan-urusan teknis seputar borang atau ranjau akreditasi yang persyaratannya berubah-ubah, urusan SPJ penelitian, dan lain-lain.

"[Berkutat] urusan teknis ketimbang bergelut dengan data riset, diskusi ilmiah nasional dan internasional seperti yang dengan nyaman dilakukan oleh para ilmuwan dan akademisi di luar negeri," katanya.

Ia mengungkapkan, banyak cerita dosen yang menyatakan sekarang lebih sulit membuat laporan SPJ daripada membuat riset. Jadi orientasinya bukan lagi output. Urusan konferensi ilmiah internasional menjadi nomor dua.

"Hal itu menjadi semakin runyam ketika kini para akademisi diwajibkan melakukan apel pagi setiap jam 10.00 meski pada jam yang sama ada jadwal mengajar," ujarnya.

Wijayanto juga menyebut bahwa kemunduran demokrasi juga sebagai ciri tergerusnya kebebasan sipil dan akademik di kampus. Ini menjadi dasar dari tergerusnya kemandirian dan kebebasan ilmiah melalui dileburnya lembaga-lembaga riset dan teknologi ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Menurutnya, hal itu ditengarai adalah akibat dari menurunnya kualitas demokrasi di Indonesia yang dibajak oleh oligarki dengan memunggungi hak warga negara.

"Agaknya persekongkolan oligarki dengan kekuasaan adalah rangkaian dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan," ujarnya.

Wijayanto mengungkapkan, outlook refleksi demokrasi di Indonesia berdasarkan ?kajian LP3S hasil riset dari para ilmuwan politik dalam dan luar negeri, menyatakan terjadinya kemunduran kualitas demokrasi secara signifikan di Indonesia.

Senada dengan Wijayanto, Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Didik J. Rachbini, mengatakan, masalah kebebasan akademik di kampus-kampus Indonesia yang mulai merosot mengiringi dileburnya Kementerian Ristek, LIPI, dan lembaga ilmiah lainnya di bawah BRIN.

Menurutnya, kebijkaan peleburan tersebut bukanlah satu keputusan akademis yang berasal dari kajian ilmiah yang bersandar pada kebenaran ilmiah. Tetapi lebih merupakan sebuah keputusan politik kekuasaan yang mengabaikan aspek kebebasan dan kebenaran ilmiah.

"Hal itu saat ini menjadi sebuah masalah yang sangat serius dan perlu dipertanyakan. Karena satu kebenaran ilmiah tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan politik darimana pun asalnya," tandas dia.

369