Jakarta, Gatra.com - Kepala Lembaga Riset Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Dahlian Persadha, mencatat bahwa terdapat sebanyak 333 situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diretas oleh hacker.
“Per hari ini, dari catatan kita, ada 333 site KPU yang sudah di-hack. 328 di antaranya adalah di-deface, diganti tampilannya,” ujar Pratama dalam sebuah webinar yang digelar pada Rabu, (15/9). “Bayangkan, ada 333. Kuat nggak artinya kita? KPU kuat nggak? Ya, enggak sama sekali kalau menurut saya,” ujar Pratama.
Pratama menyebut bahwa situs-situs yang diretas tersebut adalah situs KPU daerah yang meliputi daerah Raja Ampat, Temanggung, Pekalongan, Prabumulih, Probolinggo, Salatiga, Samarinda, Sawah Lunto, Semarang, Solo, Sungai Penuh, Surabaya, dan wilayah-wilayah lainnya. “Nah, ini kan harusnya tidak boleh terjadi, apalagi terhadap penyelenggara pemilu,” ujar Pratama.
Menurut Pratama, peretasan terhadap situs KPU ini akan berimbas pada perhitungan suara pemilu otomatis yang berdasar pada penggunaan teknologi. Polemik pun berpotensi terjadi, terutama soal sikut-sikutan perhitungan suara di masa pemilu di antara pihak-pihak yang berkompetisi.
“Coba bayangkan, kalau misalkan terjadi selisih suara yang sangat signifikan antara penghitungan manual dengan penghitungan secara teknologi, secara IT, apa yang terjadi? Yang kalah pasti nggak mau terima. Kalau selisihnya mungkin cuma 500 ribu atau 100 ribu, okelah, fine, mungkin terjadi kesalahan hitung. Cuma kalau bedanya 5 juta, 10 juta, ya pasti yang kalah minta dihitung ulang lagi,” ujar Pratama.
“Teknologi itu akan menjadi petaka kalau tidak kita kelola dengan baik. Jadi, kita jangan menganggap bahwa teknologi itu hanya alat bantu saja, bukan alat penghitungan yang sah. Akan tetapi, kalau terjadi selisih perhitungan yang sangat signifikan, dan sangat besar sekali, pasti yang kalah minta dihitung ulang lagi. Apalagi kalau kita bicara pemilihan presiden. Pasti akan lebih bermasalah,” tutur Pratama.
Oleh karena itu, Pratama menyarankan KPU untuk menyadari adanya risiko penyelenggaraan sistem elektronik dalam pemilu. Ia pun merekomendasikan agar KPU menjalin kerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), untuk mengatasi maslaah ini.
Menurut Pratama, dengan menjalin kerja sama dengan BSSN, KPU akan mampu mendeteksi celah keamanan siber yang berpotensi dieksploitasi oleh kriminal siber yang kemungkinan akan berbuntut pada kecurangan dalam perhitungan suara pemilu.
“Komisioner, pejabat, dan pegawai KPU harus sadar dirinya menjadi target para peretas, menjadi target orang-orang yang ingin pemilu di Indonesia enggak aman,” pungkas Pratama.