Jakarta, Gatra.com- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memiliki upaya yang tinggi dalam membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh masyarakat. Pasalnya pembatasan kebebasan berekspresi yang belakangan hadir justru menunjukkan bahwa Negara tak lagi setia pada demokrasi, melainkan menunjukkan gejala otoritarianisme.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti menuturkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi.
"Indonesia sebagai negara demokrasi mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, serta kebebasan berekspresi. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat di muka umum dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran atas penyelenggaraan pemerintahan." ujar Fatia dalam keterangan resminya, Rabu (15/09).
Lebih lanjut, berdasarkan data KontraS, Fatia mengungkapkan Agustus 2021, KontraS mencatat setidaknya terdapat 13 kasus persekusi kepada muralist, 13 kasus tersebut terbagi menjadi beberapa isu yaitu 11 tindakan penghapusan mural yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, 1 tindakan perburuan pelaku dokumentasi mural yang berujung korban didatangi oleh pihak kepolisian, dan 1 persekusi pembuat konten mural di Tangerang. Selanjutnya selain upaya persekusi kepada muralist sepanjang bulan Januari – Juli 2021.
Selain itu, tambah Fatia, KontraS turut mencatat mencatat setidaknya terdapat 13 kasus penangkapan sewenang-wenang yang terdiri dari 8 kasus penangkapan UU ITE yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia yang terkait dengan 2 penangkapan isu kinerja institusi, 1 isu mengenai kritik institusi, 2 isu mengenai Papua, dan 3 isu mengenai kinerja pejabat. Selanjutnya terdapat 2 kasus penangkapan sewenang-wenang terkait kritik terhadap PPKM, dan yang terakhir adalah 3 penangkapan terkait kritik kinerja kepada pejabat.
Fatia menyebut kasus terkini yang terjadi pada beberapa mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang membentangkan poster berisikan kritik kepada Presiden Joko Widodo saat Presiden berada di Solo untuk menghadiri Forum Rektor se-Indonesia di Auditorium Fakultas Kedokteran UNS. Dalam upaya penangkapan sewenang-wenang tersebut, setidaknya terdapat 10 mahasiswa yang ditangkap oleh aparat terkait aksi pembentangan poster.
"KontraS menilai bahwa penangkapan sewenang-wenang tersebut merupakan salah satu upaya pemerintahan untuk membatasi ruang kebebasan berekspersi dan berpendapat di muka umum." jelasnya.
Berangkat dari sejumlah pola pembatasan yang terjadi di berbagai ruang, hal ini menunjukkan bahwa Negara tidak memberikan ruang ekspresi kritik warga negara terhadap kondisi yang dialami atau merespons sikap negara atas kebijakan tertentu.Peristiwa ini juga menunjukkan eskalasi yang terus meningkat dalam konteks pembatasan kebebasan berekspresi yang terjadi baik di ruang luring maupun daring.
Beberapa kasus tersebut menunjukkan bahwa Pemerintahan Joko Widodo masih alergi dengan kritikan-kritikan yang disampaikan oleh warganya. Hal ini kontradiktif dengan pernyataan Presiden untuk mempersilakan kritik, tapi tidak menjamin ruang dan bentuk ekspresi kritik warga negara.
"Penghapusan mural, penangkapan sewenang-wenang, kritik berujung UU ITE, dan lain-lain merupakan salah satu bagian kecil yang sejatinya banyak kejadian tengah terjadi di masyarakat terkait ancaman pengkerdilan kebebasan berekspresi dan berpendapat yang memiliki konsekuensi panjang pada kebebasan sipil di Indonesia." pungkasnya.