Jakarta, Gatra.com - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015, Hamdan Zoelva, mengungkapkan bahwa dalam membentuk konstitusi, para pendiri bangsa Indonesia mengadopsi konsep “veil of ignorance” untuk merumuskannya.
Veil of ignorance merujuk pada sebuah metode mencapai sebuah kesepakatan bersama dengan cara mengabaikan hal-hal mendetil yang berpotensi memperlambat tercapainya kesepakatan tersebut.
“Karena berusaha mencapai satu kesepakatan bersama, sering sekali hal-hal yang detail tidak ditulis dan tidak bisa disepakati dalam konstitusi,” ujar Hamdan dalam sebuah kuliah umum yang digelar secara virtual pada Selasa, (14/9).
“Kenapa? Karena kalau dimasukkan hal-hal yang detail, akan tidak tercapai kesepakatan. Karena itu, dalam teori konstitusi, ada yang dikenal veil of ignorance. Ada tabir di balik kesepakatan itu [di mana perumusnya] memiliki pandangan yang berbeda,” jelas Hamdan.
Hamdan mencontohkan perumusan sila pertama dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada implementasinya, perumusan tersebut menuai banyak perdebatan mengingat beragamnya konsep ketuhanan yang dianut oleh banyak pemeluk agama di Indonesia.
Namun, Hamdan mengatakan bahwa para perumusnya pada waktu itu tetap mengabaikan detil-detil tertentu lantaran kalau harus mencari jalan kompromi yang memakan banyak waktu dan tenaga, kesepakatan bersama dinilai akan sulit terwujud.
“[Ini] tidak dirumuskan sampai tuntas pada saat itu dan memang tidak akan dirumuskan sampai tuntas karena tidak akan ketemu. Jadi, dalam teori konstitusi, itu adalah hal yang normal,” jelas Hamdan.
Hamdan juga menyampaikan contoh lain, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Ia menilai banyak hal-hal yang tak tertuang dalam UU tersebut. Pasalnya, pada dasarnya, terdapat hal-hal yang tidak dapat dikompromikan bersama. Dengan demikian, yang tertuang dalam UU tersebut hanyalah batas-batas tertentu saja.
“Karena itu dalam praktik konstitusi di mana pun, the framers atau perumus konstitusi itu bisa beda pandangan pada satu teks yang sama karena the veil of ignorance itu,” tutur Hamdan.
Hamdan menilai bahwa konsep veil of ignorance tersebut juga terjadi di tubuh masyarakat. Walau berpotensi menimbulkan perbedaan pandangan, ia menilai bahwa justru dinamika pertukaran pandangan inilah yang menjadi ciri budaya berkonstitusi.
“Apalagi kita yang tidak menuliskan teks itu. Perbedaannya semakin ada. Jadi, itu hal yang normal saja. Ini adalah budaya berkonstitusi,” ujar Hamdan.