Jakarta, Gatra.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut pengelolaan keuangan daerah cenderung belum efisien, efektif, dan produktif. Hal itu terlihat dari penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).
“Pelaksanaan desentralisasi fiskal masih memiliki beberapa tantangan, di antaranya belum optimalnya pemanfaatan TKDD di dalam mendorong pembangunan di daerah. Meskipun hampir 70% dari APBD itu berasal dari TKDD,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (13/9).
Menkeu memaparkan, data menunjukkan sekitar 59% dari total anggaran daerah dalam 3 tahun terakhir digunakan untuk belanja birokrasi seperti belanja pegawai serta belanja barang dan jasa. Menurutnya, pemanfaatan TKDD untuk Dana Alokasi Umum (DAU) di daerah sebagian besarnya terpakai untuk belanja pegawai.
Sementara itu, Dana Alokasi Khusus (DAK) yang secara nominal nilainya lebih kecil dari DAU memiliki korelasi positif terhadap belanja modal. Artinya, belanja modal di daerah sangat tergantung dari transfer pemerintah pusat yang berasal dari DAK, bukan dari DAU yang lebih banyak dipakai untuk gaji pegawai daerah.
“Ini berarti terjadi apa yang disebut crowding out, di mana pemerintah daerah menggunakan DAK sebagai sumber utama belanja produktif. Padahal esensi DAK sebetulnya sebagai pelengkap, penunjang dari yang disebut dana keseluruhan TKDD maupun APBD,” imbuhnya.
Menkeu menambahkan, tantangan lain desentralisasi fiskal yaitu minimnya kemampuan pemerintah daerah dalam mendapatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selama tiga tahun terakhir, porsi PAD dalam APBD masih berada di kisaran 24,7%.
“Tantangan ketiga, belanja daerah belum terfokus. Jenis program di daerah bisa mencapai 29.623, itu programnya. Kalau dipecah menjadi kegiatan berjumlah 263.135. Kita bisa bayangkan ini yang disebut diecer-ecer. Pokoknya kecil-kecil semuanya dapat tapi tidak memperhatikan apakah pengeluaran itu akhirnya menghasilkan output dan outcome,” tegasnya.