Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono, menyoroti Indonesia sebagai negara berkembang yang kurang beruntung. Hal itu ia sampaikan dalam rapat dengan panitia kerja (panja), Senin (13/9), membahas soal asumsi dasar, pendapatan, defisit, dan pembiayaan pembahasan RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.
Pertama, sebagai negara berkembang, kondisi pandemi membuat Indonesia menjadi kurang beruntung dan semakin sulit. "Sedikit kurang beruntung kita ini. Negara berkembang, flower country katanya. Tapi kena pandemi pula, sudah 2 tahun, ya jadi serba sulit," ujar pria yang akrab disapa Ibas itu.
Kedua, soal keberlangsungan program gunting pita atau yang mengacu pada program-program yang sudah dicanangkan sebelum masa pemerintahan Jokowi. Ibas berharap program-program yang sudah direncanakan jauh-jauh hari, bisa dikebut dan segera selesai.
"Pasalnya, banyak sekali program yang tengah berjalan tapi tidak kunjung jelas akhirnya. Jujur, kita ini ingin gunting pita Presiden ini terus berlanjut. Apalagi kalau pita-pita yang digunting itu merupakan program prioritas. Ya, tidak hanya Jembatan Merah Putih di Ambon. Kalau bisa itu kereta cepat juga selesai," paparnya.
"Saya pernah menengok langsung bersama anggota DPR RI Komisi VI. Meski proyek kereta cepat ini menuai pro dan kontra, saya yakin rakyat akan senang jika selesai. Atau Trans-Sumatra misalkan yang sudah banyak dibahas. Saya juga bermimpi, mewakili Dapil Jatim VII, proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) Jawa Timur itu bisa selesai. Hingga saat ini pembiayaan untuk JLS saja belum jelas," tambahnya.
Ketiga, Ketua fraksi Demokrat itu mempertanyakan soal roadmap pemerintahan saat ini. Ia bahkan membandingkan ketika jaman ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, ada program yang dikenal dengan nama MP3EI atau Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.
"Apakah pemerintah juga tidak memiliki (roadmap), ya, kalau di masa lalu ada MP3EI, yang sekarang sebetulnya masih dipakai meski berganti nama. Kalau proyek kecil seperti JLS saja tidak tuntas, saya jadi tidak yakin apakah pemerintah memiliki kemampuan fiskal yang cukup besar, sebut saja penyelesaian Ibu Kota Negara (IKN) contohnya . Bukan hanya sekedar roadmap pembiayaan (untuk saat ini saja), tapi yang berkelanjutan," jelasnya.
Diakui Ibas, ekspansi fiskal memang diperlukan dalam pemulihan ekonomi saat ini. Akan tetapi, dirinya juga mengingatkan agar pemerintah tidak melupakan proyeksi jangka panjang yang berkesinambungan.
Di satu sisi, ekspansi fiskal diperlukan untuk penanggulangan Covid-19. Supaya pemulihan ekonomi dan pelaksanaan jaminan perlindungan sosial dapat dilakukan secara cepat, tepat dan efektif. "Tapi terkadang apakah kita ini harus agresif dengan tidak memperlihatkan beberapa hal yang lain? Agresif sih boleh, tapi harus masuk akal. Jangan sampai besar pasak daripada tiang. Ingat, kita perlu kesinambungan fiskal antargenerasi," tuturnya.
Ekspansi fiskal yang dimaksud Ibas yakni besarnya APBN sebesar 2708,7 T sementara perolehan pendapatan negara di kondisi perekonomian yang masih terbatas ini hanya sebesar 1840,7 T. Akibatnya, defisit anggaran pada RAPBN 2022 sebesar 868,0 T atau 4,85% dari PDB. Defisit Rp 77,3 T setelah memperhitungkan pembiayaan investasi serta kewajiban penjaminan dari pemerintah, total pembiayaan anggaran adalah 868,0 T, lanjut Ibas.
Selanjutnya, Ibas juga mempertanyakan soal inovasi yang diambil pemerintah saat pandemi ini, apakah ada inovasi baru atau program lama mana saja yang sekiranya dilanjutkan. "Dari berbagai kebijakan defisit dan pembiayaan yang dicanangkan dalam RAPBN 2022, kebijakan apa saja yang merupakan inovasi atau langkah baru atau extraordinary yang diambil pemerintah, berdasarkan pelajaran dari krisis pandemi Covid-19 tahun 2020-2021? Dan kebijakan mana saja yang merupakan kebijakan lanjutan dari program tahun sebelumnya? Sehingga kita tidak hanya mengulang," tanya Ibas.