Membedah Konsep Tanah Air dan Aspek Kesejahteraan
Oleh: Taufan Hunneman*
“Para founding fathers juga memiliki visi jauh ke depan, ketika Bung Hatta berhasil memediasi agar Piagam Jakarta dihapuskan, para tokoh Islam menunjukkan jiwa besar dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara”.
------------------
Setelah Afghanistan dikuasai kelompok Taliban, kita segera menyaksikan eksodus warga Afghanistan ke berbagai penjuru dunia, mereka menjadi pengungsi untuk mencari kehidupan di negeri lain. Setiap konflik skala besar selalu mengakibatkan arus deras pengungsi, seperti yang terjadi di Afghanistan saat ini. Negeri kita termasuk “akrab” dengan gelombang pengungsi, mengingat sering menjadi transit bagi para pengungsi, seperti pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar.
Tentu yang paling fenomenal adalah pengungsi Vietnam, pada akhir dekade 1970-an dulu. Karena jumlahnya yang relatif besar, pemerintah sampai menyiapkan lokasi khusus penampungan sementara, yaitu Pulau Galang (Kepulauan Riau). Kalau kita mungkin pernah mendengar warga Vietnam yang telah sukses di negeri yang baru, bisa jadi dulu mereka pernah transit di Pulau Galang. Kita bisa membayangkan, tentu mereka telah bekerja sangat keras di tahun-tahun awal di negeri yang baru, sebelum meraih sebersit kebahagiaan dan kesejahteraan hari ini.
Salah satu pelajaran yang bisa kita petik dari fenomena pengungsi seperti itu adalah, soal konsep tanah air yang menjadi kabur. Bagi para pengungsi tersebut, tanah air bukanlah tempat mereka dilahirkan, namun tempat yang bisa memberikan harapan tentang masa depan, dan mereka bisa hidup secara damai. Bagi para pengungsi, mungkin negeri baru rasanya lebih pas disebut tanah air, ketimbang negeri tempat mereka dilahirkan dulu, yang tidak lagi menjanjikan kenyamanan.
Indonesia Pusaka
Sungguh beruntung kita sebagai bangsa Indonesia, yang tidak pernah menghadapi dilema seperti yang dialami warga Afghanistan, atau warga di kawasan lain yang negaranya sedang dilanda konflik. Bagi orang Indonesia, konsep tanah air benar-benar tegas dan gamblang, yaitu tempat kita dilahirkan ibunda, sampai tiba saat menutup mata, sebagaimana tercermin dalam narasi lagu “Indonesia Pusaka” (karya Ismail Marzuki).
Dalam syair lagu tersebut terdapat frasa yang berbunyi: tempat akhir menutup mata. Dengan kata lain kita tinggal pada pada tanah air sesungguhnya, yang kita tinggali sepanjang hayat kita, tak pernah terpikirkan untuk mencari tanah air yang lain. Di negeri inilah kita dilahirkan, dan sampai hari akhir nanti.
Soliditas konsep tanah air, tidak lepas dari peran para founding fathers yang begitu visioner, seperti Soekarno, Hatta, M Yamin, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan seterusnya. Setelah ikrar Sumpah Pemuda (1928) yang monumental itu, konsep tanah air semakin diperkokoh, salah satunya melalui pidato Bung Karno pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, bahwa mendirikan sebuah negara-bangsa bernama Indonesia adalah “…..mendirikan Nationale staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian…”.
Para founding fathers juga memiliki visi jauh ke depan, ketika Bung Hatta berhasil memediasi agar Piagam Jakarta dihapuskan, para tokoh Islam menunjukkan jiwa besar dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Praktis sejak kemerdekaan, bangsa kita tidak pernah menghadapi konflik skala besar berdasarkan isu primordial. Negara mapan dan makmur seperti Yugoslavia bisa juga bubar, hanya karena alasan primordial, sehingga menjadi sejumlah negara kecil. Termasuk konflik berkepanjangan Afghanistan juga karena alasan primordial, selain faktor etnis, ada juga pertentangan di antara aliran agama (Islam).
Dalam menghadapi potensi gerakan separatis, bangsa kita memiliki tradisi unik, yakni rekonsiliasi kultural. Seperti yang pernah terjadi, yaitu rekonsikiasi kultural terkait gerakan PRRI/Permesta. Setelah gerakan berhasil dipadamkan, terjadi arus besar pemuda Minang dan Minahasa yang merantau ke Jawa, untuk melanjutkan pendidikan.
Memang sedikit ada jejak, namun tidak terlalu prinsipil, bahkan sesekali menjadi olok-olok, misalnya minim ditemukannya jalan bernama Ahmad Yani di seluruh Sumbar. Ini mirip dengan fenomena jenaka di wilayah Jabar, soal ketiadaan nama jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Kemudian ada sedikit kamuflase pada penamaan anak-anak Minang yang lahir pasca-PRRI di awal tahun 1960-an, yang namanya menjadi sedikit kebarat-baratan, seolah ingin menyembunyikan identitas Minang-nya.
Setelah konsep tanah air dianggap selesai, pada gilirannya adalah kepastian kesejahteraan bagi warganya. Sesuai amanat konstitusi, sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Para pengungsi juga begitu, mereka pergi ke tempat atau negeri lain, juga karena alasan mencari kesejahteraan. Tak bisa kita pungkiri, banyak juga warga Indonesia yang menjadi diaspora mencari kesejahteraan, namun mereka tidak menanggalkan statusnya sebagai WNI, artinya Indonesia tetap sebagai tanah air mereka.
Menjadi keprihatinan kita bersama, ketika negeri masih didera kasus korupsi secara masif. Dalam konteks kekinian, koruptor mendegradasi dua perkara sekaligus: semangat cinta tanah air dan kesejahteraan rakyat. Dana yang seharusnya untuk kesejahteraan warga dan pelayanan publik, kemudian digarong oleh para koruptor. Mengingat sudah merusak sistem pelayanan publik dan alokasi anggaran, itu sama artinya para koruptor tidak lagi memiliki semangat cinta tanah air.
Nasionalisme dan Pendidikan
Sebagaimana disebut sekilas di atas, rasa cinta tanah air yang mendorong menuju kemerdekaan, dilengkapi dengan faktor pendidikan.Pendidikan adalah kunci, yang paling berperan menuju alam kemerdekaan dan kesejahteraan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan M. Yamin , adalah generasi terdidik di awal Abad 20.
Dari merekalah aspirasi kemerdekaan mulai ditebarkan, artinya faktor literasi lebih menentukan, sementara “bambu runcing” adalah metafora. Kita jangan terlalu terlena dengan narasi yang cenderung mengedepankan perjuangan bersenjata, mengingat persenjataan pasukan kita saat perang kemerdekaan tidak sebanding dengan militer Belanda.
Dalam konteks Indonesia hari ini, ntuk menjadi pejabat publik, faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial. Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil. Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang kompeten, bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik.
Bagi generasi milenial yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja, artinya bukan dari golongan elite, bila ingin tampil sebagai tokoh publik, harus kokoh dalam aspek pendidikan. Generasi milenial, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan, di tengah kecenderungan dinasti politik hari ini. Sudah menjadi hukum besi sejarah, bahwa publik lebih percaya pada ucapan orang yang berpendidikan tinggi.
Selain aspek pendidikan, nasionalisme (versi) generasi milenial telah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini. Salah satu yang fenomenal, adalah generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan. Kemudian ada lagi aksi menentang tindakan ormas vigilante yang secara kasatmata merendahkan saudara-saudara kita asal Papua.. Kita harus berani mengatakan, generasi ini pantas disebut sebagai pelanjut cita-cita humanisme universal, yang dulu disemaikan Sutan Sjahrir dan Soe Hok Gie.
Karena pendidikan pula, diaspora Indonesia dikenal di tataran global. Sosok seperti Carina Joe dan Indra Rudiansyah, namanya sempat viral, karena peran keduanya dalam pengembangan vaksin AstraZenecca pada sebuah laboratorium besar di Inggris. Kemudian di bidang ilmu sosial ada nama Vedi R Hadiz, guru besar pada sebuah sebuah universitas di Australia. Melalui jalan pendidikan, kita terus merawat semangat cinta tanah air dan ikhtiar menggapai kesejahteraan bersama.
*Penulis adalah Sekretaris Jenderal Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika