Jakarta, Gatra.com – Tim Jaksa Peyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) masih menelurusi atau menelisik pihak-pihak yang diduga menerima keuntungan terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri tahun 2012–2019.
Penyidik terus mengusut kasus ini, termasuk menelisik pihak-pihak yang dekat dengan tersangka dalam kasus yang merugikan keuangan negara sejumlah Rp22,7 triliun tersebut.
Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung, Supardi, menyampaikan, pihaknya masih terus memeriksa saksi-saksi untuk menelisik pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus ini.
Supardi menyampaikan, untuk pihaik lain termasuk ada tidaknya aktor intelektual dalam perkara ini, tergantung dari hasil perkembangan penyidikan yang saat ini masih terus bergulir.
"Kita tunggu progres penyidikan berikutnya. Punya hubungan dengan pihak siapu pun yang penting ada alat bukti yang mendukungnya, kita dalami," tandasnya kepada wartawan pada Jumat (10/9).
Ia menyampaikan, tim penyidik atau Kejagung bekerja secara profesional dan transparan dalam menangani semua kasus, termasuk dugaan korupsi pada PT Asabri. Kejagung akan menyeret siapa pun yang diduga terlibat.
Senada dengan Dirdik, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, menyampaikan, penyidik masih terus memeriksa saksi-saksi untuk mengungkap kasus ini.
Untuk hari ini, lanjut Leo, Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejagung memeriksa 3 oran saksi, yakni Direktur Utama PT MNC Sekuritas, SM; Direktur PT Yuanta Sekuritas, LS; dan Direktur Erdhika Elit Sekuritas, AK. "[Mereka] diperiksa terkait pendalaman tersangka 10 Manajer Investasi (MI)," ujarnya.
Leo menyampaikan, ketiga saksi diperiksa untuk kepentingan penyidikan, yakni mengenai suatu tindak pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri oleh para saksi guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di PT Asabri.
"Pemeriksaan saksi dilaksanakan dengan mengikuti secara ketat protokol kesehatan antara lain dengan menerapkan 3M," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, hasil kerja keras Kejagung dalam mengusut kasus ini, yakni adanya penetapan tersangka anyar. Presiden Direktur (Presdir) PT Rimo International Lestari, Teddy Tjokrosaputro, ditetapkan sebagai tersangka. Dia merupakan adik dan partner dari tersangka Benny Tjokrosaputro (Bentjok) yang merupakan pemegang saham RIMO.
Dalam kasus ini, diduga terdapat sejumlah aktor di antaranya merupakan emiten dan belum tersetuh atau diproses hukum. Diduga terdapat sejumlah emiten yang sahamnya masih di Asabri dan melebihi batas ketentuan sebesar 5%.
Informasi yang beredar di media, dari data KSEI, persentase jumlah kepemilikan saham mereka dapat terbagi dalam dua kelompok besar, yakni mitranya Heru Hidayat, seperti dalam kepemilikan saham FIRE sebanyak 23,6% , PCAR 25,14%, IIKP 12,32%, SMRU 8,11%. Para mitra tersebut diduga menjual sahamnya secara langsung kepada Asabri.
Sedangkan kelompok kedunya, adalah? pemilik saham atau emiten yang bukan dimiliki Heru ataupun Benny Tjokrosaputro, seperti saham SDMU sejumlah 18% , HRTA 6,6%, MINA 5,3%, dan TARA 5,03%.
Adapun kerugian negara disebut-sebut lebih banyak dibebankan kepada para pemilik saham yang berstatus narapidana dan sahamnya sudah tidak ada lagi di Asabri.
Fakar hukum pidana dari Universitas Trisaksi (Usakti), Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, proses hukum dalam suatu kasus harus menerapkan asas keadilan. Dengan demikian, bukan hanya pihak yang sudah tertera dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap tersangka lain mapun yang belum muncul ke permukaan.
"Prinsipnya semua pihak yang berdasarkan fakta persidangan berkaitan dengan penggunaan dana Asabri harus diproses hukum siapapun dia," ujar Fickar.
Penyidik harus cermat dalam membongkar kasus ini, yakni jangan hanya terpaku pada keterangan tersangka, melainkan pada fakta dan data yang akurat di antaranya soal perdagangan saham. Terlebih, sejumlah emiten yang diduga terlibat belum diusut.
Dalam kasus Asabri, penyidik tetap harus mengacu data perdagangan saham secara akurat. Apalagi dalam kasus Asabri, sejumlah emiten yang diduga terlibat masih belum diproses hukum.
Salah satu yang masih menjadi tanya tanya adalah saat Sonny Wijaya menjabat Direktur Utama (Dirut) PT Asabri, pada saat awal menjabat diyakini tidak pernah mengenal Heru Hidayat.
Namun dalam waktu singkat Heru dkk dapat kepercayaan sebagai mitra Asabri dan mengelola investasi yang begitu besar. Ini disinyalir karena ada dorongan pihak yang berpengruh. Informasi yang beredar, itu dari lembaga yang mengitung kerugian negara.
Dalam kasus ini, Kejagung awalnya menetapkan 9 orang tersangka, yakni mantan Direktur Utama (Dirut) PT Asabri periode 2011-Maret 2016, (Purn) Mayjen Adam Rachmat Damiri; mantan Dirut PT Asabri Maret 2016-Juli 2020, (Purn) Letjen Sonny Widjaja; mantan Direktur Keuangan PT Asabri periode Oktober 2008-Juni 2014, Bachtiar Effendi; mantan Direktur Asabri periode 2013-2014 dan 2015-2019, Hari Setianto.
Selanjutnya, Kepala Divisi Investasi PT Asabri Juli 2012-Januari 2017, Ilham W. Siregar, Dirut PT Prima Jaringan, Lukman Purnomosidi; Dirut PT Hanson International Tbk, Benny Tjokrosaputro; Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, Direktur Jakarta Emiten Investor Relation, Jimmy Sutopo (JS).
Ke-9 orang di atas disangka melanggar sangkaan primer, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sangkaan subsidairnya, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejagung kemudian mengembangkan kasus ini dan kembali menetapkan Benny Tjokrosaputro (Benjtok) dan Heru Hidayat sebagai tersangka. Kali ini mereka menjadi pesakitan dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.
"TPPU dari predicate crime perkara tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asabri yang diduga menyebabkan kerugian keuangan negara kurang lebih Rp 23 triliun," katanya.
Adapun kronologinya, yakni dalam kurun waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2019, PT Asabri (Persero) telah melakukan penempatan investasi dalam bentuk pembelian saham maupun produk Reksa Dana kepada pihak-pihak tertentu.
Penempatan investasi ini dilakukan melalui sejumlah nominee yang terafiliasi dengan Bentjok dan Heru Hidayat tanpa disertai dengan analisis fundamental dan analisis teknikal serta hanya dibuat secara formalitas.
Direktur Utama, Direktur Investasi dan Keuangan, Kepala Divisi Investasi sebagai pejabat yang bertanggung jawab di PT Asabri (Persero) justru melakukan kerja sama dengan Bentjok dan Heru Hidayat dalam pengelolaan dan penempatan investasi PT Asabri (Persero) dalam bentuk saham dan produk Reksa Dana yang tidak disertai dengan analisis fundamental dan analisis teknikal.
"Investasi tersebut melanggar ketentuan Standar Opersional Prosedur (SOP) dan Pedoman Penempatan Investasi yang berlaku pada PT Asabri (Persero)," ungkap Leo.
Atas dasar hal tersebut, terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh direktur utama (Dirut), direktur investasi dan keuangan, kepala divisi investasi yang menyetujui penempatan investasi PT Asabri (Persero) tanpa melalui analisis fundamental dan analisis teknikal.
Penempatan investasi tersebut hanya berdasarkan analisa penempatan Reksa Dana yang dibuat secara formalitas, bersama-sama dengan Bentjok selaku Direktur PT Hanson Internasional, Heru Hidayat selaku Direktur PT Trada Alam Minera dan Direktur PT Maxima Integra, Lukman Purnomo (LP) selaku Direktur PT Eureka Prima Jakarta Tbk, SJS selaku Konsultan, ES selaku nominee, RL selaku Komisaris Utama PT Fundamental Resourches dan Beneficiary Owner, dan B selaku nominee BTS saham SUGI melalui nominee ES.
Ulah tersebut mengakibatkan adanya penyimpangan dalam investasi saham dan Reksa Dana PT Asabri dan mengakibatkan kerugian sebesar Rp23.739.936.916.742,58 (Rp23,7 triliun lebih).
"Oleh karena itu, BTS [Benny Tjokrosaputro] dan HH [Heru Hidayat] sebagai pihak-pihak mengelola dan menimbulkan kerugian negara dlam hal ini PT Asabri (Persero), ditetapkan sebagai tersangka TPPU," katanya.
Kejagung menyangka Benny Tjokrosaputro atau Bentjok dan Heru Hidayat diduga melanggar Pasal 3 dan atau 4 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selanjutnya, berkas perkara 8 orang tersangka, yakni Adam Rachmat Damiri, Sonny Widjaja, Bachtiar Effendi, Hari Setianto, Benny Tjokrosaputro, Heru Hidayat, Lukman Purnomosidi, dan Jimmy Sutopo dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk disidangkan. Sedangkan tersangka Ilham W. Siregar perkaranya dihentikan karena yang bersangkutan meninggal dunia.
Penyidikan terus bergulir, Kejagung lantas menetapkan 10 perusahaan atau korporasi manajer investasi (MI) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi oleh PT Asabri (Persero) pada beberapa perusahaan periode tahun 2012–2019. "Telah menetapkan 10 tersangka manajer investasi," kata Leo, Rabu (28/7).
Adapun ke-10 manajer investasinya, yakni:
1. Korporasi PT IIM
2. Korporasi PT MCM
3. Korporasi PT PAAM
4. Korporasi PT RAM
5. Korporasi PT VAM
6. Korporasi PT ARK
7. Korporasi PT OMI
8. Korporasi PT MAM
9. Korporasi PT AAM
10. Korporasi PT CC.
Penyidik menetapkan ke-10 manajer investasi tersebut setelah melakukan gelar perkara (ekspose) yang diketahui dari hasil pemeriksaan terhadap pengurus manager investasi telah menemukan fakta bahwa Reksadana yang dikelola oleh manajer investasi pada pokoknya tidak dilakukan secara profesional serta independen.
Tidak profesional dan independen karena dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan pihak pengendali tersebut sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara yang digunakan atau dimanfaatkan oleh manajer investasi.
"Perbuatan manajer investasi tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan tentang Pasar Modal dan Fungsi-Fungsi Manajer Investasi serta peraturan lainnya yang terkait," ungkapnya.
Menurut Leo, ulah atau perbuatan para manajer investasi tersebut telah merugikan keuangan negara pada PT Asabri (Persero) sebesar Rp22.788.566.482.083,00 (Rp22,7 triliun lebih).
Kejagung menyangka ke-10 perusahaan atau korporasi manajer investasi tersebut diduga melanggar Pasal 2 juncto Pasal 3 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 3 dan 4 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Setelah itu, Kejagung menetapkan 1 tersangka anyar. AdalahPresiden Direktur (Presdir) PT Rimo International Lestari Tbk, Teddy Tjokrosaputro (TT) yang giliran menjadi peskitan. Adik dari Benny Tjokrosaputro (Bentjok) tersebut langsung dijebslokan ke dalam sel tahanan Rumah Tahanan Negara (Rutan) Salemba Cabang Kejagung.
Penyidik menahan tersangka Teddy Tjokrosaputro selama 20 hari untuk kepentingan pemeriksaan dalam kasus dugaan korupsi dan pencucian uang yang membelitnya.
"Penahanan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor: Print-17/F.2/Fd.2/08/2021 tanggal 26 Agustus 2021," ujar Leo.
Tim Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung menetapkan Teddy Tjokrosaputro sebagai tersangka karena diduga telah turut serta melakukan perbuatan bersama-sama terdakwa Benny Tjokrosaputro.
Penetapan status tersangka Teddy Tjokrosaputro dalam kasus dugaan korupsi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-26/F.2/Fd.2/08/2021 tanggal 26 Agustus 2021.
Sedangkan untuk kasus dugaan tindak pidana pencucian uang tersangka TT berdasarkan Sprindik Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus No.Print-14/F.2/Fd.2/08/2021 tanggal 26 Agustus 2021.
Kejagung menyangka TT melanggar sangkaan kesatu primer, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kesatu subsider, Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian sangkaan kedua, pertama, Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau kedua, Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.