Jakarta, Gatra.com - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan melihat Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat menyimpan sejumlah pasal karet.
Menurut Audrey, Prmenkominfo 5/20 rawan memunculkan multitafsir sehingga implementasinya harus diwaspadai. Aturan ini merupakan turunan dari PP Nomor 7/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang juga turunan dari UU ITE.
"Sama halnya dengan UU ITE yang memiliki beberapa pasal karet, Permenkominfo ini juga tidak luput dari dilema. Khususnya yang berkaitan dengan moderasi konten, secara spesifik berkenaan dengan salah satu jenis konten yang dilarang seperti yang tercantum pada Pasal 9 ayat (4) poin b," ujar Audrine dalam keterangannya, Jumat (10/9).
Audrey melihat poin di dalam Perkominfo tersebut rentan terhadap multi-interpretasi. Apalagi mengingat absennya aspek hukum yang adil atau due process pada aturan tersebut yang mencakup salah satunya ialah mekanisme banding.
Audrey menjelaskan, dalam konteks hukum, due process kerap digunakan untuk menekankan bahwa prosedur dalam membuat putusan harus konsisten, adil, independen, dan transparan. "Hal ini yang masih belum tampak pada aturan moderasi konten di Indonesia yang ada saat in," katanyai. Untuk itu, sejalan dengan hasil penelitian CIPS, Permenkominfo ini perlu direvisi dan memasukkan aspek due process dengan menerapkan pendekatan pengaturan bersama atau koregulasi.
Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo menyatakan sangat penting untuk menjaga keseimbangan peranan antar pemangku kepentingan guna mencapai tata kelola konten digital yang menjamin kebebasan, iklim bisnis yang sehat, dan juga menjamin social order.
"Di satu sisi platform perlu untuk diatur oleh pemerintah, namun di sisi yang lain, pemerintah juga tetap berada dalam koridor yang sewajarnya agar tidak mencederai kebebasan berekspresi masyarakat. Terlebih dengan adanya pasal karet yang menjadi polemik," jelasnya.