Pekanbaru,Gatra.com- Upaya menerapkan solusi teknologi untuk perkebunan kelapa sawit, kerap terkendala oleh pemahaman petani akan teknologi itu sendiri. Ketua Asosiasi Pengembang Startup di Provinsi Riau, Khairul Anwar Ade Saputra, mengungkapkan dirinya sering kali mendapati keluhan enggineer saat menawarkan pendekatan teknologi kepada pengelolah kebun sawit. "Umumnya kendala itu ada di lahan perkebunan yang digarap langsung petani, karena memang ada tantangan pada digital mindset kelompok ini," bebernya kepada Gatra.com belum lama ini.
Khairul mencontohkan rekannya yang mencoba menawarkan penerapan teknologi berbasis aplikasi kepada pemilik kebun, yang tak lain orang tua sang rekan itu sendiri. "Jadi kawan itu ingin mencoba mengejar efisiensi di kebun sawit milik keluarganya seluas 100 hektare. Efisiensi itu diupayakan melalui pendekatan teknologi misalkan dengan software enterprise resources planning (ERP). Tapi yang ada malah ditolak sama orang tuanya, dengan alasan tanpa teknologi pun sawit itu tetap menghasilkan. Jadi orang tuanya tak butuh efisiensi," terangnya.
Asal tahu saja, software ERP memiliki kegunaan untuk mengelola dan mengintegrasikan berbagai aktivitas operasional dalam sebuah usaha. Saat ini penggunaan software ERP mulai banyak digunakan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), setelah sekian lama karib digunakan perusahaan besar.
Melalui software ERP pengelolah kebun paling tidak melakukan pemantauan pengelolaan keuangan, pengadaan hingga manajemen sumber daya manusia. Dalam menggarap kebun sawit, pendekatan ini dapat diterapkan misalkan untuk memetakan kebutuhan akan pupuk per area, berikut tenaga kerja yang dibutuhkan.
Sementara itu Gigih, seorang programer mengatakan persoalan digital mindset dalam penggarapan kebun sawit, juga dijumpai pada penggarap kebun sawit dalam bentuk usaha. "Memang problem ini lebih banyak dijumpai di kalangan petani, tapi dalam beberapa kasus juga didapati pada perusahaan," urainnya.
Dikatakan Gigih, penolakan perusahaan atas solusi teknologi digital umumnya berbeda antara pegawai dan owner. Ia mengatakan pegawai biasanya enggan menerapkan teknologi itu karena tidak bisa bolos.
"Contohnya kalau absen manual, pegawai kan bisa nitip absen, tinggal kongkalikong dengan atasannya (mandor). Nah, kalau pakai fingerprint yang kemudian connect dengan aplikasi ERP, kan bisa dipantau owner dari jarak jauh, tentu mereka tidak bisa bolos lagi. Sedangkan penolakan dari owner atas solusi digital adalah persoalan harga," tekannya. Adapun luasan kebun sawit di Riau mencapai 2,8 juta hektare. Angka tersebut merupakan yang terluas di Indonesia.