Jakarta, Gatra.com – Executive Director Madani, Nadia Hadad, mengatakan, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit atau lebih populer dengan Inpres Moratorium Sawit yang akan berakhir tanggal 19 lusa, adalah salah satu instrumen penting terkait pengembangan biofuel, bahan bakar berbahan nabati, khususnya dari minyak sawit.
"Ini sebenarnya instrumen yang sangat penting buat pengembangan kebijakan BBN [bahan bakar nabati] itu sendiri," kata Nadia dalam webinar pada pekan ini.
Dina dalam webinar bertajuk "Menakar Aktualisasi Bahan Bakar Nabati Nasional Guna Mencapai Komitmen Iklim" tersebut, lebih jauh menyampaikan, selain mencegah ekspansi penggunaan lahan, istrumen tersebut mendorong produksi sawit nasional untuk menopang biofuel dan pangan.
"Mendorong adanya peningkatan produktivitas sehingga BBM nasional berbasis sawit dapat mencapai tujuan awalnya, terutama untuk mengurangi emisi nasional," kata Nadia.
Dengan kondisi tersebut, maka perlu untuk terus membangun diskursus atau dialog antarstakeholder yang berkesinambungan dan sistematis dalam rangka usaha untuk mengembangkan dan mencari solusi bagi pengembangan BBM nasional Ini.
"Seperti apa sih yang paling pas untuk negara kita yang memang bisa win-win for all, memang semuanya bisa diuntungkan dan tidak membahayakan bagi komitmen kita," ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut harus dihitung ulang agar kebijakan biofuel, khususnya berbahan minyak sawit sehingga Indonesia benar-benar andal atau tangguh dan berdaulat dalam konteks pemenuhan energi nasional sekaligus mampu mencapai komitmen terkait mecegah perubahan iklim.
"Karena itu, Madani ingin berbagi pandangan dan wawasan soal pengembangan kebijakan Indonesia, terutama peluang untuk memperkuat ambisi iklim dan perlindungan hutan dan gambut yang lebih kuat melalui produksi BBM yang berkelanjutan," tandasnya.
Ia mengungkapkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai komitmen serius dalam mengembangkan kebijakan bahan bakar nabati atau biofuel. Ini terbukti sejak tahun 2006 lalu, Indonesia menerapkan kebijakan bauran energi yang sudah dicanangkan.
"Dorongan awalnya adalah untuk mencapai kedaulatan energi, peningkatan ekonomi, terutama untuk melepas ketergantungan terhadap energi fosil. Lalu, meningkat menjadi salah satu bagian dari strategi penurunan emisi nasional," ujarnya.
Menurut Nadia, strategi penurunan emisi melalui pengembangan biofuel. Namun, pengembangan biofuel nasional selama ini sempat menghadapi beberapa tantangan, di antaranya soal perkebunan dan pengembangannya hanya didominasi oleh satu komoditas untuk bahan bakunya, yaitu sawit.
"Posisi BBM sebagai solusi pencapaian komitmen iklim ataupun sebagai jalan untuk pertumbuhan ekonomi ini jadi dilematis buat kita, karena tantangan yang dihadapi, seperti ketersediaan lahan, ekosistem hutan, dan lahan gambut.
"Pemenuhan untuk foodstock tadi juga urusan pemenuhan sumber pangan nasional. Kalau kita hitung secara komprehensif melalui analisa siklus kehidupan, penurunan emisinya akan menjadi tidak terlalu relevan lagi buat kita semua," katanya.