Jakarta, Gatra.com - Kalaulah tiga lembar usulan aturan main sewa tanah atas nama kawasan hutan yang dilayangkan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (Dirjen PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman kepada Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono ini jadi diberlakukan, maka petani sawit Indonesia akan resmi menjadi pekerja 'romusha' di negeri sendiri.
Dibilang begitu lantaran petani kelapa sawit harus merogoh kocek dalam-dalam demi menutupi banyak pengeluaran.
Selain harus membayar pajak pembelian pupuk, racun, penjualan Tandan Buah Segar (TBS), pajak tanah daerah, mulai tahun ini, saban tahun petani sawit juga sudah wajib membayar sewa tanah melalui KLHK sebesar Rp4.350.000.
Ini berarti, tiap bulan petani harus menyisihkan duit Rp362.500 untuk membayar sewa tanah ala KLHK itu.
Pilihan pahit ini bisa jadi pula akan menjadi pilihan apabila petani kelapa sawit tak sanggup membayar biaya pelepasan kawasan hutan yang tarif perhektarnya Rp13.449.640.
Tarif yang apabila petani sawit mengantongi izin berkebun sawit dan kebun sawitnya sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di daerah seperti yang disebutkan pada pasal 110A Undang-Undang nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tapi kalau tak punya izin dan tak sesuai RTRW, kocek para petani akan benar-benar koyak sekoyak-koyaknya lantaran tarif pelepasan kawasan hutan yang harus ditomboki, akan lebih mahal.
Itu lantaran berapa perkiraan tegakan kayu waktu petani membuka lahan, akan disigi dan dihitung.
“Kalau saya perhatikan skenario PNBP ini, petani bakal kayak romusha dan bahkan lebih dari itu. Begini; taruh lah dalam sebulan hasil bersih 1 hektar kebun sawit petani 800 kilogram, harga jual TBS Rp2000. Ini berarti penghasilan kotor petani sawit Rp1,6 juta. Biaya perawatan, panen, angkut dan lain-lain Rp1,4 juta. Sisa Rp200 ribu. Bayar sewa tanah Rp362.500. Maka petani harus mencari dana talangan Rp162.500. Kalau begini ceritanya, cara-cara Menggala (KLHK) itu sudah lebih dari cara Jepang dalam praktek romusha nya. Sebab pekerja romusha, mereka hanya tidak dibayar. Bukan dipaksa kerja dan cari utangan,” kata Gus Dalhari Harahap, Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Utara (Sumut) kepada Gatra.com, Rabu (8/9).
Sekretaris DPW Apkasindo Kalimantan Tengah, Dandan Ardi, justru tak habis pikir dengan 3 lembar surat usulan tarif PNBP Kehutanan bikinan Ruandha yang sudah berseliweran di dunia maya itu.
“Yang jelas ini sudah keterlaluan. Gimana pula kami akan bisa membayar tarif PNBP sebesar itu, tiap tahun pula. Ini sama saja dengan mematikan kami petani sawit yang terjebak dalam klaim kawasan hutan itu,” ujar lelaki ini dalam logat Dayaknya.
Ardi tegas menyebut kalau petani tidak akan pernah mau berkebun dalam kawasan hutan jika awal membuka lahan, petani menemukan bahwa lahan yang akan digarap adalah kawasan hutan.
“Pertama, kami tak pernah menengok batas-batas hutan dan bukan hutan. Kedua, kami tidak menebang pohon hutan, sebab saat kami akan bertanaman sawit, lahan kami sudah bukan hutan lagi. Harusnya orang Kehutanan itu yang dihukum karena mereka lalai melaksanakan tugasnya menjaga hutan. Jangan malah kami petani yang didenda,” rutuknya.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, sempat terdiam saat Gatra.com meminta pendapatnya soal tarif PNBP itu.
“Yang pasti, kami sempat ditertawai banyak orang lantaran kami pasang badan mendukung lahirnya UUCK. Kami tak perduli dengan ejekan itu, kami membusungkan dada,” suara lelaki yang baru saja menyabet gelar doktor lingkungan ini terdengar bergetar.
Dan setelah surat tarif PNBP itu berseliweran di medsos, Apkasindo kata Gulat kembali ditertawakan orang.
“Nah, kali ini kami tak sanggup membusungkan dada lagi. Sebab terlalu berat derita dan beban yang harus kami tanggung di saat kami telah berbuat banyak kepada negeri tercinta ini. Oleh sawit yang kami kelola, kami bisa mempertahankan perputaran ekonomi sepanjang pandemi dan kami bisa memberikan devisa sangat besar kepada Negara,” terbata-bata suara ayah dua anak ini mengurai.
Secara pribadi kata lelaki yang jamak dipanggil GM ini, dua kali malu. Pertama lantaran sebagai petani yang mendukung pengesahan UUCK dan turunannya. Kedua, sebagai Ketua Bravo-5 Riau, Relawan Jokowi-Amin.
“Sebagai relawan, dua tahun lalu kami begitu bangga menyampaikan program-program strategis Pak Jokowi dan Pak Makruf Amin di bidang perkebunan sawit ke masyarakat luas. Jujur, setelah membaca surat tarif PNBP Kehutanan itu, pikiran saya melayang entah kemana, langsung turun imun kami petani sawit ini. Walau begitu, saya enggak emosilah. Sebab saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin pasti belum mengetahui tarif PNBP Kehutanan itu dan kalaupun tarif PNBP akan diberlakukan, saya yakin Pak Jokowi dan Pak Maaruf Amin akan berlaku adil lah,” ujarnya.
Oleh keyakinan itu pula GM mengaku akan segera berkirim surat dulu kepada Menteri Keuangan dan Menteri LHK, meminta dasar besaran tarif PNBP itu.
“Kami mengedepankan komunikasi dulu, persis seperti pembahasan PP dan Permen LHK turunan UUCK itu. Unjuk rasa pilihan terakhir dan unjuk rasa ini benar-benar akan kami lakukan jika kami sudah tidak tahan lagi dipermainkan,” tegas GM.
Beberapa hari belakangan, tiga lembar surat Ruandha bernomor S-509/PKTL/Set.2/KUH.1/7/2021 yang beredar di medsos itu jadi omongan di kalangan petani sawit. Surat itu berisi angka-angka tarif PNBP kepada Sekjen KLHK.