Jakarta, Gatra.com - Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menuntut Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak terus melakukan kebohongan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, via Zoom dalam konferensi pers bertajuk "17 Tahun Kematian Munir" yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Jakartanicus pada Selasa, (7/9).
"Jangan sampai kemudian seorang presiden melakukan kebohongan, berdusta kepada rakyat. Khususnya terkait dengan janji-janji politiknya untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM [Hak Asasi Manusia] masa lalu," ucapnya.
Arif mengatakan khususnya mereka menuntut Jokowi agar segera menuntaskan kasus pembunuhan keji terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib yang sudah berlangsung 17 tahun yang lalu. "Kita tentu masih ingat bagaimana Presiden Jokowi menjanjikan kepada seluruh rakyat Indonesia, kepada kita semuanya untuk menyelesaikan kasus ini," tuturnya.
"Sejak dia kemudian mencalonkan diri sebagai presiden yang di periode pertama, saat beliau bertemu dengan para pakar hukum di tahun 2016, kesempatan itu digunakan oleh beliau untuk kemudian menjanjikan berbagai hal, menjanjikan kepada kita semuanya terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu," lanjut Arif.
Tetapi, menurutnya, sampai hari ini yang mereka saksikan adalah paradoks atau kebalikannya. Seharusnya ketika seseorang berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, misalnya menyelesaikan kasus Cak Munir, mestinya ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan.
Arif mengatakan akan tetapi sampai hari ini tidak ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan oleh pemerintah. Dan yang terjadi justru pemerintah memberikan ruang-ruang istimewa, memberikan kesempatan-kesempatan terhormat, posisi-posisi yang terhormat untuk orang-orang yang diduga kuat sebagai pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sementara itu ia mengatakan yang sangat memprihatinkan adalah dokumen penting terkait dengan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) untuk pengungkapan kasus Cak Munir, itu justru dinyatakan hilang dan pemerintah mengatakan tidak memiliki kewajiban untuk mempublikasikannya. "Padahal itu, jelas sekali adalah mandat dari Keputusan Presiden [Keppres] Nomer 111 Tahun 2004 ketika TPF itu dibentuk," sambung Arif.
"Ini tentu menjadi ironi tersendiri dan saya kira kita semuanya sudah seharusnya kemudian menuntut kepada Presiden Republik Indonesia, untuk kemudian serius, untuk kemudian tidak hanya mengumbar janji tapi buktikan janji itu agar sejarah nantinya juga mencatat," tambahnya.
Arif menyebut nantinya sejarah akan mencatat apakah Jokowi nantinya meninggalkan legacy kebohongan ataukah legacy upaya untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang sudah dijanjikannya sendiri. Dan mereka berharap, Presiden Republik Indonesia dapat memberikan legacy yang baik.
"Karena sekali lagi, kewajiban untuk penghormatan perlindungan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah menjadi tanggungjawab pemerintah. Dan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan memiliki kewajiban untuk membuktikan itu, untuk melaksanakan itu," terangnya.