Minahasa Utara, Gatra.com- Seorang perempuan berkaos merah muda dengan sabar memutar-mutar adonan kue di bawah telapak tangan kanannya hingga membulat. Sesekali jemari tangannya menjumput adonan besar di sebelahnya untuk kembali memutar adonan menjadi bola-bola kecil. Kemudian adonan kue yang berisi campuran terigu dan ragi itu disusun rapi seperti layaknya barisan prajurit.
Jarak antar bola-bola berwarna putih kekuningan itu sekitar lima centimeter. Di sisi lain ruang dapur berukuran 4x4 itu, terdapat juga perempuan berkaos hitam sedang menggiling adonan hingga pipih menggunakan alat yang terbuat dari kayu. Sesekali gerak tubuhnya berhenti, tangan kanannya meraih tepung terigu dan menaburkannya ke atas meja. Begitu seterusnya, hingga adonan selesai digiling.
Duduk di atas kursi plastik hijau, seorang perempuan muda dengan paras khas Minahasa yang terkenal kecantikannya, terlihat asyik memegang sendok dan mengisi adonan dengan daging ayam yang telah diberi bumbu. Jemarinya terlihat terampil sekali membentuk adonan sedemikian rupa menyerupai bakpao sambal sesekali bersenda gurau dengan temannya.
Langkah terakhir sebelum adonan dikukus, adalah menunggunya mengembang. Waktu menunggu ini mereka manfaatkan untuk mengobrol persoalan kehidupan sehari-hari di depan dapur. Jangan kaget kalau tiba-tiba terdengar teriakan atau tawa lepas dari obrolan mereka.
Setelah dikukus selama 30 menit, aroma harum dari dalam ruang dapur menyergap hidung kami. Kami yang penasaran dengan aroma tersebut menuju dapur melihat proses berikutnya. Terlihat tangan seorang perempuan muda sedang mengangkat tutup panci berbahan aluminium lebar-lebar. Kepulan asap putih muncul dari balik panci berisi kue berwarna putih bersih yang baru saja masak. Ada tujuh susunan panci yang tiap susunnya berisi delapan butir kue setiap kali memasak.
Satu persatu bulatan kue panas itu, dipindahkan ke meja besar, ditata sedemikian rupa untuk ditiriskan selama beberapa menit. Bagian menonjol paling atas diberi sedikit pewarna makanan sebagai tanda varian rasa. Penganan mirip bakpao yang populer di Minahasa Utara ini bernama biapong.
Dua pekan lalu GATRA berkesempatan melihat proses pembuatan biapong di Dapur Biapong Aletha, Desa Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara. Desa seluas 810 hektare ini terkenal sebagai sentra penjualan kue biapong di daerah Sulawesi Utara. Maumbi tidak termasuk desa terpencil karena aksesnya mudah dan fasilitas yang memadai. Menuju desa ini cukup mudah, ada dua jalan sebagai pintu masuknya. Yaitu melalui jalan Soekarno atau melalui jalan raya yang menghubungkan Kota Manado dan Bitung.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Minahasa Utara, Audy Sambul, menyebut Desa Maumbi sebagai wilayah yang strategis. “Yang jadi keuntungan dari Desa Maumbi adalah dia dilewati oleh wisatawan yang ingin berwisata ke Kota Bitung atau tempat wisata lain di Minahasa Utara” ucap Audy kepada GATRA.
Kemudian dirinya bercerita, sekitar tahun 2016 Minahasa Utara banyak menerima wisatawan Cina yang melakukan perjalanan wisata. Bus-bus pariwisata banyak yang singgah di Maumbi untuk membeli biapong dan makanan lainnya. Bisa jadi kesamaan jenis makanan biapong dengan bakpao yang berasal dari “Negara Tirai Bambu” ini menjadi alasan larisnya kuliner ini pada masa itu.
Beda Biapong dengan Bakpao
Biapong rasa bak, adalah biapong yang berisi daging babi. Ini merupakan kue favorit bagi masyarakat Minahasa Utara. Sekitar 70 persen penjualan kue di dominasi oleh varian rasa ini. Tapi tenang, bagi konsumen yang tidak bisa memakan bak, ada alternatif pilihan rasa lainnya loh, seperti: daging ayam, kacang dan temo atau sejenis wijen. “Untuk menjangkau pembeli yang tidak bisa memakan bak, maka kami juga mulai membuat biapong dengan isi lain” ujar Johni Tanod, penjabat Hukum Tua (Kumtua) Desa Maumbi.
Biapong mempunyai tekstur yang lebih padat bila dibandingkan dengan bakpao. Bentuk kue seharga Rp5000 ini sekilas seperti bawang putih berukuran besar. Beda dengan bakpau yang bentuknya bulat polos. Sarah (26), salah satu penikmat biapong mengaku menyukainya karena ukuran cukup besar, empuk dan isiannya yang banyak. “Harus nyoba makan saat anget-anget biar ada sensasi gula merah yang meleleh dipadu dengan kacang tanah yang gurih, rasanya makin yummi”.
Dengan tekstur yang padat serta rasa manis yang cukup, biapong bisa menjadi pilihan kudapan yang pas untuk teman minum kopi arabica panas di sore hari.
Reporter: Ardi Widi Yansah
Editor: Rohmat Haryadi