Karangasem, Gatra.com – Derit suara pagar memecah keheningan Sabtu pagi itu, pukul 05.20, tak ada siapapun, hanya tampak Jero Gede yang sedang melenggok jalan santai melintasi jalan utama di dalam pemukiman, Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Bali,
Si Jero Gede, kerbau pejantan milik desa adat dengan bobot sekitar 700 kilogram, yang baru pulang setelah keluyuran semalaman dari luar desa. Suasana saat itu masih gelap, dan dinginnya cukup menembus kemeja flanel. Tak berapa lama, seorang laki-laki mengenakan kain adat tanpa baju berjalan menuju Bale Kulkul, dan kemudian menaikinya.
Tepat pukul 05.30 WITA, ia pun mengayuhkan palu kayu besar ke sebuah kentongan raksasa, yang digantungkan di Bale tersebut. Kentongan dipukul dengan interval beberapa detik, hingga pada pukulan terakhir ke-21 yang menandakan pergantian tanggal bagi masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan, (21/08). “Pergantian tanggal baru dimulai pukul 06.00... pagi hari ....sebanyak 21 kali .... ayunan harus ke satu arah,” kata I Putu Madri Atmaja, yang menjabat sebagai Ketua Desa atau Keliang Desa 1 sebagai Tamping Takon Duluan.
Ketua Adat, Keliang 1 Tamping Takon Duluan, I Putu Madri Atmaja. (GATRA/Jongki Handianto)
Madri yang baru diangkat mendapat tugas tambahan sebagai penyarikan atau pemukul kentongan. Penyarikan terdiri dari 12 orang, sistem kerjanya bergilir, diganti setiap 1 bulan sekali, dan hanya mereka yang boleh melakukannya. Sebelum kentongan dipukul, masyarakat tidak diperkenankan melakukan upacara, tetapi mereka diperbolehkan untuk melakukan kegiatan keseharian.
Untuk menuju ke Desa Tenganan Pegringsingan diperlukan waktu sekitar 1 jam 45 menit hingga 2 jam dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, dengan jarak tempuh sekitar 77 Km melewati jalan tol Bali Mandara. Berbagai tempat wisata yang akan dilewati saat menuju ke sana seperti Bali Safari & Marine Park, Goa Lawa, dan tentunya Candi Dasa.
Lokasi desanya agak masuk ke dalam, sekitar 4,5 km dari pertigaan jalan raya. Begitu memasuki gerbang desa, mata akan disambut bangunan panjang terbuat dari kayu, Bale Agung, berdiri megah layaknya landmark Desa. Sebelah timur dari bale terdapat kompleks Pura Petung dan Pura Gaduh yang bentuknya berbeda dengan pura yang biasa dilihat di Bali pada umumnya.
Sekitar pukul 07.15, tampak 16 remaja putri dengan pakaian adat sedang berkumpul sambil masing-masing membawa gembolan. Mereka, para daha (dibaca; dahe), akan jalan bersama-sama untuk melaksanakan upacara di puncak bukit Kubu Langlang. Perjalanan dapat ditempuh sekitar 30 – 60 menit, tergantung juga dengan panjang-pendek nafas masing-masing.
Sebenarnya ada dua jalur untuk menuju ke sana, jalur jalan kaki/tracking seperti para daha atau menggunakan kendaraan 4 roda melewati pasar Bungaya sebelah timur bukit. Walaupun tetap harus jalan kaki lagi sekitar 200 meter, sesampai di warung pertigaan menuju Pura Kubu Langlang. Sesampainya di puncak, para daha langsung menyebar mencari daun palem yang akan digunakan sebagai alas duduk di depan pura.
Para Daha berkumpul untuk melaksanakan upacara Mentinggah Rahayu di Pura Kubu Langlang,
Tenganan, Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Setelah itu masing-masing menjalankan ritual doa sebelum duduk berkumpul membuat lingkaran. Sambil lesehan mereka makan, juga ngobrol, diselingi canda tawa. Itu merupakan gambaran singkat para daha dalam melaksanakan proses upacara Metinggah Rahayu. “Daha itu terdiri dari Daha Wayah, Daha Nyoman, dan Daha Nengah. Mereka tidak diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan upacara bila sedang cuntake atau haid,” ujar Madri.
Sebelum jalan menuruni bukit, tidak ada salahnya berisitirahat sejenak di sebuah warung di atas Bukit Moding. Menonton indahnya teater alam, sambil menyeruput secangkir kopi asli Bali, ruaarrrr biasa nikmatnya. Ada beberapa tempat duduk kayu yang disediakan dan cukup berjauhan, sehingga aman untuk menghirup udara yang nol polusi tanpa masker. Pemandangan laut, lembah dan lebatnya hutan perbukitan yang seakan mengepung pemukiman. Tampak dari kejauhan Desa Tenganan Pegringsingan dengan tata ruang yang sangat teratur. Bangunan khas Bale Agung, Bale Kulkul, Bale Jineng, dan balai-balai lainnya terlihat sangat menonjol. Tak terasa secangkir kopi telah habis, saatnya meneruskan perjalanan.
Desa dan Tata Ruang
Bila dilihat dari atas, tata ruang perkampungan, pemukiman/rumah dan bangunan lainnya mempunyai pola deretan atau leretan yang sangat rapi, berbanjar dari mulai selatan desa hingga ke utara. Kontur tanah pun berundag dan bertingkat, makin ke selatan makin rendah, sekilas mirip sawah terasering. Rumah-rumah masyarakat terbentuk menjadi empat banjar, banjar paling barat menghadap timur, dan banjar kedua yang di barat hadap ke arah barat.
Tenganan masuk dalam desa dinas yang terdiri dari Banjar Tenganan Pegringsingan , Banjar Gumung, Banjar Kangin, Banjar Kauh, dan Banjar Tenganan Dauh Tukad. Sedangkan desa adat Tenganan Pegringsingan terdiri dari yaitu Banjar Adat Kauh, Banjar Adat Tengah, Banjar Adat Kangin (Banjar Pande). Penduduknya tinggal di kavling-kavling yang berada dalam banjar Kauh, banjar Tengah dan banjar Pande.
Setiap banjar tersebut dibagi menjadi beberapa kavling atau pekarangan, dan setiap kavling ditinggali oleh satu kuren atau satu keluarga. Di depan masing-masing banjar terdapat 2 jalan utama, mirip boulevard, yang disebut awangan. Antara awangan terdapat semacam tlabah atau selokan yang di atasnya terdapat bangunan-bangunan untuk kegiatan masyarakat.
“Dari total tanah adat seluas 917,200 hektar, hanya 8% yang difungsikan sebagai pemukiman. Kurang lebih 225 kepala keluarga .... lahan pemukiman masih cukup walaupun ada pertambahan penduduk, sebenarnya ini seperti siklus, kesimbangan akan kelahiran dan kematian. Masih ada lahan-lahan yang masih kosong, hingga saat ini tidak ada yang tidak dapat pekarangan. Yang belum bikin pekarangan masih ada tapi karena faktor ekonomi,” kata Putu Suarjana yang menjabat Keliang Desa Adat ke 5.
Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali. (Abdul Karim)
Wilayah pemukiman merupakan tanah hak milik desa adat, masyarakat yang tinggal di dalamnya hanya mendapat hak guna pakai. Lebih maju lagi, desa adat telah menyiapkan kavling-kavling untuk tempat tinggal, dengan syarat, satu pekarangan dihuni satu kepala keluarga. Ketika pada abad 20 manusia masih sibuk mencari rumah, masyarakat di sini sudah tidak pusingkan lagi dengan masalah itu.
Ukuran kavling telah ditentukan berkisar antara 4 hingga 5 are atau sekitar 400 hingga 500 meter persegi. Dan secara baku telah mengatur bagian-bagian rumah pada setiap kaveling seperti, 1 are untuk halaman depan, 2 – 3 are untuk bagian rumah, dan 1 are untuk halaman belakang. Desain arsitektur tradisional pun telah baku, perkarangan terdiri dari 4 unit bangunan yaitu bale buge, bale tengah terdiri dari 2 ruangan, bale meten, dan ada sanggah kemulan maupun sanggah pesimpangan atau tempat pemujaan.
Paling barat sudah pasti untuk paon atau dapur, dan kamar mandi selalu berada di selatan dapur karena aturan sistem pembuangan limbah rumah harus ke belakang, bahkan untuk air hujan. Intinya, bagian depan rumah harus saling berhadapan dengan bagian depan rumah juga.
Masyarakat desa Tenganan Pegringsingan sangat menghormati tata ruang dan fugsi lahan. Mereka mempercayai dan menjalankan aturan hubungan antara manusia dengan lingkungan, seperti yang tertulis dalam hukum adat Awig-Awig pasal 7 berbunyi “Seluruh masyarakat adat tenganan pegringsingan tidak boleh menjual tanahnya ke luar desa adat”.
Kepemilikan pribadi tetap diakui adat tetapi diatur dalam kepentingan bersama. Arti kepentingan bersama di sini adalah ketika desa adat memerlukan sarana upacara, maka desa adat berhak menggunakan, walaupun tetap menggunakan aturan yang ada. “Sebagai contoh, bila ada warga mempunyai tanah bersertifikat hak milik mau menjual tanahnya, aturan yang pertama ia harus menawarkan dulu ke keluarga kandung. Kalau tidak mau baru kemudian saudara (sepupu), kalau gak mau juga ....ditawarkan ke masyarakat Tenganan Pegringsingan .... kalau masih belum laku, barulah kemudian desa adat yang akan membeli. Dalam hal ini desa adat bukan sebagai penadah, tetapi sebagai penyelamat lingkungan. Karena itu luas tanah desa adat tetap utuh hingga saat ini,” kata Suarjana.
Asal Mula Desa
Masyarakat Tenganan Pegringsingan berasal dari desa Bedahulu di daerah kabupaten Gianyar. Suatu hari pada saat akan diadakan upacara Asua Medayadnya yang rencananya menggunakan korban atau carunya seekor kuda putih Oncesrawa, tiba-tiba kuda itu hilang. Akhirnya Bhatara Indra, selaku yang diutus para dewa, memberi perintah kepada masyarakat atau wong peneges, untuk mencari atau meseserep, kuda tersebut. Para peneges dibagi menjadi dua kelompok, ada yang ditugaskan ke barat laut dan timur laut.
Rombongan yang mencari di timur laut akhirnya menemukan kuda tersebut, tetapi dalam keadaan sudah mati di daerah Candi Dasa. Sedangkan rombongan yang tidak berhasil menemukan, konon, akhirnya menetap di daerah Bratan. Kemudian Bhatara Indra bersabda, walaupun peneges mendapatkan kuda itu dalam keadaan mati tetapi merekalah yang berhasil menemukan. Untuk membalas jasa mereka, Bhatara Indra menghadiahkan daerah tersebut untuk para peneges. Nah syaratnya, sampai dimana masih tercium bau bangkai kuda tersebut, sampai seluas itulah wilayah yang bisa ditempati.
Kemudian para peneges membawa bagian-bagian kuda tersebut dan menguburnya di batas daerah sampai dimana bau bangkai masih bisa tercium. Daerah perbatasan tersebut yaitu,
- Kaki kanan: Penimbalan Kangin
- Kaki kiri: Penimbalan Kauh
- Isi Perut: Batukeben
- Kotorannya: Pura Taikik
- Ekornya: Rambut Pule
- Kemaluan: Kaki Dukun
Titik-titik penyebaran itu juga menjadi tempat suci. Pura Pulapulapan menjadi titik yang terjauh dengan ketinggian sekitar 500 m dpl di perbatasan paling ujung sisi Utara. “Sejarah tersebut hanya diceritakan secara turun temurun ....sampai saat ini belum tercatat. Menurut para leluhur terjadi sekitar abad ke IX, sebelum majapahit masuk ke Bali. Kalau tidak salah, terdapat 34 titik tempat suci,” penjelasan Suarjana. Menurutnya, titik suci yang ada di dalam lingkungan desa, batas desa, perkebunan, dan hutan, sudah ditentukan pada saat itu juga, termasuk batas desa.
Lingkungan yang Seimbang
Hubungan harmoni antara manusia dengan alam/lingkungan telah terjaga dengan baik. Mereka percaya bila tidak ada keseimbangan alam maka alam yang ramah akan berubah menjadi bencana. Tetapi bila keseimbangan tetap terjaga maka mereka akan mendapat berkah. Keberadaan dan peranan Awig-awig dalam pelestarian alam dan lingkungan sangatlah penting, sebagai panduan dan aturan hukum bagi masyarakat dalam menjaga ekosistem.
Bentuk penghormatan terhadap alam atau lingkungan dengan melakukan upacara Tanggung-tanggungan pada bulan ke 10 atau sasih kedasa, di Pura Penyannyan. Sebanyak 16 jenis tanaman endemik, termasuk padi, dipersembahkan ke Gunung Agung, Pura Besakih, Bedulu, Bhatara Sri, dan Ulun Yeh (sumber air) untuk ngatur pekelem (melarung).
Para daha menjalankan ritual doa di Pura Kubu Langlang, Tenganan,
Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Semua yang masyarakat butuhkan telah tersedia oleh alam, tujuan para leluhur agar mereka tidak ketergantungan dengan dunia luar. Hutan liar tidak boleh berubah, kalau pun berubah karena kejadian alam. Kalau pun ada proses penebangan, hanya untuk penjarangan, merawat, agar pohon yang tidak ditebang dapat hidup normal.
Tanah persawahan juga telah ditetapkan sebesar 25% dari jumlah total luas, atau sekitar 250 hektar. Lokasi sawah berada di arah timur dari balik bukit yang berbatasan dengan Desa Asak, Desa. Timrah, Desa Bungaya, dan Kecamatan Bebandem. Dan ke arah Selatan berbatasan dengan desa Pesedahan. Ke arah Barat berbatasan dengan Desa Ngis. Total jumlah luas hutan adalah 591 hektar, 240 hektar yang dikelola termasuk kebunnya, dan 251 hektar hutan liar yang proses penjarangannya juga telah diatur.
“Pembagian lahan sangat jelas ....tercatat dan terdata, dan tidak boleh seenaknya. Kalau ada warga yang mau menebang pohon harus lapor alasannya dan buat permohonan pada jam 20.30 di Bale Agung. Dan desa adat akan buat tim verifikasi yang terdiri dari sesepuh, pimpinan dan pembantunya, untuk memutuskan,” ujar pria yang mempunyai nama adat Adi Suwarnata.
Pasangan yang baru menikah berhak memohon menebang pohon kayu yang masih hidup sebagai modal membangun rumah. Karena 3 bulan setelah menikah, mereka harus memisahkan diri dari orangtua. Penggunan pohon untuk kayu bakar diperbolehkan, tentunya sudah ditentukan klasifikasinya, tetapi itu pun harus ijin desa adat. Mereka diberikan kebebasan untuk menggunakan pohon yang sudah mati buat dijual, kayu bakar, dan lain-lain, itu pun juga setelah melapor.
Awig-awig, Hak dan Kewajiban
Seluruh sendi kehidupan masyarakat telah diatur dalam aturan desa adat atau Awig-awig. Warga desa menggunakannya sebagai pedoman yang ditaati dan melaksanakan aturannya sebagai hukum adat. Menurut sejarah, buku Awig-awig yang asli terbakar saat Bale Agung dan beberapa bangunannya terbakar pada 1841. Kemudian awig-awig ditulis kembali berdasarkan ingatan masyarakat dibantu Raja Karangasem.
Karena hanya berdasarkan ingatan maka penulisan pasal atau bage-bage agak lompat-lompat tak berurutan. Sebenarnya pasal-pasal dapat diurutkan lagi tetapi hanya belum sempat, dan yang terpenting asal tidak diganti. Namun ada beberapa bagian bage tidak diberlakukan lagi, tetapi belum diamandemen, masih tercatat tetapi tidak dilaksanakan lagi. “Sebagai contoh .... dulu kalau ada bayi lahir kembar laki-perempuan, mereka harus diasingkan di kuburan .... kan kalau saat ini bisa kena HAM dan melanggar hukum, jadi tidak dipakai lagi,” ucap Suarjana.
Dalam menentukan keputusan pada suatu masalah, masyarakat Tenganan mengutamakan forum rapat agar lebih adil dan terbuka. Bila mengalami kebuntuan, forum Krama Desa yang berjumlah 28 pasang dilibatkan, masih belum terselesaikan, maka Keliang Gumi yang berjumlah 6 pasang ikut dilibatkan. Bila permasalah masih belum terpecahkan, barulah seluruh masyarakat adat dilibatkan. Perlu diketahui, warga desa Tenganan mengenal sistem voting, walaupun tetap mengutamakan musyawarah. Awig-awig juga mengatur sanksi yang terdiri dari 3 jenis, yaitu: finasial, moral, dan adat.
Fotocopy buku Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan. (Koleksi I Putu Rio Wedayana)
Untuk finasial, para pelanggar dikenakan denda uang kepeng, tergantung kesalahannya. Kursnya mengunakan ukuran yang standar agar tidak menyulitkan masyarakat, misalnya 1 kepeng setara dengan 87.5 rupiah, bila didenda 200 kepeng maka pelanggar harus membayar 17.500 rupiah. Bila terkena sanksi moral, pelanggar tidak bisa dilibatkan dalam urusan adat, tapi anaknya masih bisa. Begitu juga dengan hukuman adat, pelanggar akan kehilangan hak kapasitas adatnya. Pemberian hukuman berat sangat jarang terjadi, hukuman yang diterapkan lebih bertujuan agar masyarakatnya sadar akan kesalahannya.
Contohnya dalam sistem perkawinan, ada harapan dalam internal agar masyarakat Tenganan Pegrisingan untuk tidak menikah keluar. Mereka telah lama merasakan manfaat sistem kekeluargaan yang cukup kuat dan harmonis. Aturan agar kedua pasangan suami istri harus berasal dari desa setempat atau endogamy itu ada, tetapi yang menikah keluar atau exsogamy juga ada. Memang ada konsekuensinya, secara otomatis para pelanggar aturan tidak bisa masuk dalam struktur adat. Mereka hanya bisa masuk ke dalam gumi pulangan, walaupun seperti itu mereka masih bisa tinggal di pemukiman desa adat. Warga desa adat Tenganan Pegringsingan terdiri dari:
- Krama desa adalah sepasang suami isteri yang sama-sama berasal dari desa Tenganan yang tidak cacat fisik.
- Gumi Pulangan adalah mantan dari krama desa atau warga desa kedua setelah warga inti atau mereka yang poligami, duda, tetapi tidak cacat fisik. Tetapi janda tidak masuk di dalamnya.
- Krama Gumi adalah seluruh masyarakat adat desa Tenganan Pegrinsingan, termasuk yang cacat fisik.
Keliang Desa Adat -5, Putu Suarjana. (GATRA/Jongki Handianto)
Desa adat memberi kesempatan bagi warganya untuk meningkatkan perekonomian dan mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Adat juga mengatur warga yang bekerja di luar desa, diperbolehkan tetapi harus memberi tahu alasan yang jelas. Dan yang terpenting mereka harus hadir ketika ada kegiatan seperti upacara, minimal dalam setahun pernah pulang untuk mengikuti upacara. Atau bila berhalangan, tetap melimpahkan tugasnya kepada keluarga di rumah agar tugas pokok fungsinya tetap berjalan.
Hubungan sesama manusia dalam lingkup kegotong-royongan, tolong menolong, konsep kehidupan hubungan antar manusia telah berjalan dengan baik. Mereka, sebagai masyarakat desa adat lebih mengedepankan kepentingan bersama dengan menyelaraskan kepentingan personal bila dikaitkan dengan kepentingan masyarakat. Hubungan antar manusia ini juga telah diatur dalam Awig-awig, dan sangat mudah terlihat saat ada kegiatan atau upacara. Kewajiban perseorangan dirasakan sebagai panggilan kepentingan hidup dalam kebersamaan, sehingga tampak seperti lebih mementingkan kewajiban dibanding dengan haknya. Dapat dikatakan rela menekan dan membuang sifat egoisme.
Upacara dan Tradisi
Desa adat mengatur semua aspek kehidupan, artinya memberi panduan hubungan antara manusia dengan lingkungan, antara manusia dengan manusia, dan termasuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, niskale. Semua itu saling berhubungan juga dengan kegiatan dan upacara masyarakat yang diatur oleh desa adat. Dikutip dari buku penelitian “Seri Monografi Komunitas Adat – Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem Provinsi Bali” yang dikeluarkan Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata – 2007, masyarakat desa Tenganan menganut agama Hindu, coraknya lebih kental dengan aliran Indra.
Dalam melakukan ritual keagamaan terlihat adanya perbedaan dengan ritual Hindu yang umumnya ada di Bali. “Seperti di sini, kami tidak punya Pura Hindu pada umumnya, di mana yang ada candinya, memang agak berbeda. Contohnya Upacara Sambah dilakukan pada bulan ke lima, menurut kalender Tenganan. Kalender Bali dan Tenganan berbeda. Kami tidak menyebut nama hari, hanya tanggal saja. Bali secara umum ada, tapi tidak dengan kita. Tanggal upacara sudah baku, tidak berubah, dan tidak boleh berubah” ungkap Suarjana.
Tradisi Perang Pandan pada 2013. (Koleksi I Putu Rio Wedayana)
Pada Sasih Kelima atau bulan ke 5, kegiatan upacara Usaba Sambah dilaksanakan secara besar-besaran dan paling lama hingga lebih dari 1 bulan. Kata Sambah sendiri berasal dari kata dasar sameh yang artinya ramai, dan pada waktu inilah acara Makare atau perang pandan dilaksanakan. Untuk melakukan Makare harus melalui tahap-tahap kegiatan upacara pendahuluan. Beberapa ritual awal yang harus dilakukan seperti, upacara Samudana, upacara Mabuang, kemudian ada prosesi Makare secara simbolik, dan setelah itu baru Perang Pandan yang sesungguhnya dilaksanakan.
Tidak ada rekonstruksi Makare atau Perang Pandan, prosesi itu hanya bisa dilaksanakan pada saat diadakannya upacara, karena itu Makare termasuk kegiatan yang bersifat sakral. Bila melihat kembali ke sejarahnya, masyarakat Tenganan berasal dari para Peneges, dan tradisi ini sebagai persembahan Dewa Indra. “Sebagai penganut agama Hindu Indra ....dan Dewa Indra adalah simbol dewa perang.
Inti dari perang itu bukan pandannya, tapi tehnik strategi berperangnya. Agar bisa membela diri, keluarga, desa, dan semangat bela negara. Patriotisme terdorong,” penjelasan Suarjana. Setiap peserta harus mengenakan baju adat, lengkap dengan tamiang atau tameng (alat penangkis) dan seikat daun pandan berukuruan sekitar 30 cm. Acara Perang Pandan dilaksanakan selama 3 – 4 jam, dan waktu per-babak atau setiap ronde sekitar 3-5 menit. Kehadiran wasit pun hanya untuk mengingatkan, melerai, dan menyudahi setiap babaknya.
Ritual yang hanya diperuntukkan orang Tenganan ini, tidak mencari dan tidak ada pemenangnya, karena memang bukan sebuah kompetisi. Tidak ada batasan usia, yang berani silahkan turun arena. Dan yang terpenting, tak ada dendam atau amarah, peserta kembali akrab setelah selesai. Harapan dari kegiatan Makare, sebagai salah satu cara untuk mengasah ketangkasan, berpikir, fisik, sebagai media edukasi dan introspeksi.
Selain Perang Pandan, ada juga tradisi Ayunan Jantra yang biasa dipasang di beberapa titik. Bila dilihat dari samping, bentuk ayunan menyerupai baling-baling 4 daun yang terdiri dari 8 tempat duduk, dengan masing-masing 2 tempat duduk di atas, bawah, depan dan belakang. Ayunan kayu yang terbuat dari pohon cempaka harus disucikan terlebih dahulu sebelum digunakan. Hanya teruna dan daha yang boleh mengikutinya dengan mengenakan kain tenun Gringsing.
Saput dan keris yang wajib dipakai para pria di Desa Adat Tenganan Pegringsingan,
Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Para daha menaiki tempat duduk ayunan, sedangkan para teruna bertugas mendorong dan memutarnya. Aturan mainnya, ayunan harus diputar sebanyak empat kali, bisa juga lebih, tapi dalam jumlah yang sama. Dua kali ke arah utara, dua kali ke selatan. Tradisi ini mempunyai arti seperti kehidupan manusia, terus berputar, kadang kehidupan ada di atas, bawah, depan, atau belakang. Masih ada beberapa lagi acara pada bulan itu seperti Nguling, Mecundang, Ngajah, Nunggak, dan lain-lain. “Ayunan mengingatkan kita sebagai siklus kehidupan. Tidak boleh sombong .... selalu introspeksi saat di posisi mana pun .... hidup itu tidak bisa ditebak. Biaya untuk acara pada Sasih Sambah paling besar dan lama, anggarannya mencapai 100 juta,” ungkap Suarjana.
Tenun Gringsing dan Regenerasi
Kembali masuk ke area Desa Tenganan Pegringsingan, suasana kesibukan warga mulai terlihat. Ada seorang bapak yang sedang memandikan ayam-ayam peliharaan, di sudut lainya tampak ibu-ibu sedang asyik ngobrol sambil jalan sepulang dari pasar. Rumah-rumah dengan reklame kecil bertuliskan “nama panggilan....Handycraft & Art Shop” akan membuat penasaran pengunjung untuk memasukinya.
Beberapa warga, terutama di sekitar Banjar Kauh dan Banjar Tengah, mempunyai mata pencaharian tambahan dengan membuat tenun khas dobel ikat Tenganan Pegringsingan dan menjual buah tangan lainnya. Pengunjung dapat menyaksikan secara langsung proses dan belajar cara menenun.
Cara mengobati penasaran memang harus memasuki salah satu galeri art shop rumah warga tersebut. Sebelah kanan ada tempat ritual saat memasuki pekarangan, display kerajinan patung dari batu, maupun kerajinan kayu lainnya berada diujung segaris dari pintu masuk. Bagian halaman depan agak ke tengah atau natah, terdapat meja dan sofa sebagai ruang tamu.
Perajin kain tenun Gringsing, Ketut Sumiartini sedang menenun motif cakra di Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, Karangasem, Bali. (GATRA, Jongki Handianto)
Tidak jauh dari situ, sekitar umah meten dan bale tengah, semua hal tentang pertenunan dari mulai peralatan, bahan , hingga display kain tenun dapat terlihat. Seorang ibu terlihat asyik sedang menenun kain motif Cakra dengan ukuran lebar 20 cm dan panjang 160 cm. Kain tenun khas Tenganan Pegringsingan mempunyai 24 motif, antara lain, terdapat 24 motif, antara lain, Cakra, Lubeng, Dinding-ai, Teteledan, Cemplong, Pitare, Wayang, Pepare, Gringsing, Sanan Empeg, Cecempakan, dan lain-lain. Tetapi motif yang menjadi primadona pasar adalah Cakra, Lubeng, Cecempaka, atau kain dengan warna dominan merah.
Proses menenun kain jenis anteng ukuran 20 cm x 160 cm diperlukan waktu selama 10 hari, dengan maksimal 4 jam sehari. Untuk ukuran 40 cm x 160 cm dapat dikerjakan selama 2 minggu, sedangkan yang 60 cm x 160 cm sekitar 3 minggu. “Membuat kain diperlukan suasana hati yang enak atau tepat .....lebih baik berhenti bila sedang tidak mood. Benang saja bisa cepat putus ....nenun dobel ikat perlu kesabaran. Waktu yang enak .... siang ketika kerjaan dapur dan pekerjaan rumah sudah selesai. Nenun 2 jam ...istirahat siang ....teruskan nenun lagi sampai 2 jam,” kata Ketut Sumiartini.
Waktu yang dibutuhkan dari proses awal sampai tahap menenun minimal 2 tahun, di antaranya ada pemintalan benang, kemudian proses pewarnaan. Untuk membuat benang warna kuning dibutuhkan waktu 1 bulan 7 hari, dan biru selama 2 minggu. Khusus untuk warna merah, dilakukan setiap 4 bulan sekali dengan proses dikucek selama 7 hari, terus dikeringkan, dan diulangi lagi proses itu beberapa kali dengan cara yang sama kemudian diberi lagi warna merah hingga mendapatkan warna merah pekat yang diinginkan.
Proses tersebut ada hitungan hari baik, selain itu agar daya serap benang terhadap warna lebih maksimal. Kain tenun yang telah selesai dibuat, akan dicelup ke dalam air hujan yang tentunya tanpa deterjen, dan dikeringkan di tempat yang teduh.
Mencari bahan baku kain tenun tidaklah mudah di jaman milenial seperti saat ini. Sumartini menceritakan kalau beberapa waktu yang lalu ia sempat membeli bahan dari nusa penida. Itu pun sepertinya harus terhenti karena pembuatnya sudah tua dan tidak ada penerus dari generasi mudanya. Ia pun berharap pasokan benang dibeli dari Sumba. Dulu bahan benang sempat dibuat di Tenganan walaupun tidak banyak, termasuk bahan pewarnanya.
Untungnya, masih ada bahan baku peninggalan dari almarhum kakeknya. Sebuah harapan darinya, untuk bisa meneruskan ketrampilan dari sang kakek Raji yang cukup terkenal sebagai satu-satunya pembuat benang tenun Gringsingan. Untuk bahan warna biru dan merah diambil dari luar tenganan, nusa penida dan lombok. Bahan pewarna merah dibuat dari kulit akar mengkudu, dan kuning dari minyak kemiri yang diproses sendiri. Khusus biru yang dibuat dari daun indigo, dicelupnya di daerah Bugbug.
“Di sini ada aturan untuk tidak boleh membuat warna biru, ceritanya dulu karena terkait pembagian kerja, dan kebetulan tumbuhan itu tumbuh dekat pantai. Desa Tenganan hanya membuat warna Tridatu yaitu merah, hitam, dan kuning. Kain gringsing hanya 3 warna,”ujar wanita yang sudah mulai menenun sejak kelas 4 sekolah dasar.
Tenun Gringsingan dijual dengan harga yang bervariasi, tergantung kualitas tenun dan warna. Kita bisa membawa pulang dengan harga 2 juta rupiah untuk kain kualitas terbaik berukuran 20 cm x 160 cm. Tetapi harus merogoh kocek lebih dalam hingga 20 juta rupiah untuk motif wayang karena tingkat kesulitan, dan lebarnya mencapai 80 cm dan panjangnya 180 cm. Itu sempat terjual kepada turis lokal dan kolektor ketika sebelum pandemi.
“Turis Jepang juga suka membeli karena mungkin di sana membuat kain dobel ikat juga, saat kemarin sedang ramai malah dari Amerika yang paling banyak. Motif wayang cuma sedikit lebih lebar, di sini dibuat untuk upacara tapi ada juga banyak permintaan. Harga jual sama, untuk upacara maupun penjualan biasa,” ungkap wanita kelahiran tahun 1978.
Bahan baku benang untuk membuat kain tenun Gringsingan di Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Kadang dalam seminggu, perajin yang satu ini dapat menjual hingga 5 kain, itu sewaktu jaman normal sebelum pandemi. Dalam masa sulit seperti saat ini, ia pun menyiasatinya dengan menjual secara online lewat media sosial. Hasil tenunnya pernah ia bawa ke Okinawa, Jepang, untuk mengikuti pameran kain ikat.
“Kain gringsing tidak ada yg dipesan karena prosesnya lama. Secara pribadi pernah diajak teman untuk ikut pameran kain ikat sedunia. Waktu itu Indonesia diwakili kain tenun Grinsing, India menampilkan Patola, dan Uzbekistan juga double ikat. Kain ini unik, bisa diturun temurunkan,”kata ibu dari sepasang putra-putri. Kain tenun geringsing merupakan pakaian khas Desa Tenganan Pegringsingan. Masyarakat wajib mengenakannya saat mengikuti upacara sakral.
Seperti kata Pegringsingan yang terdiri dari dasar kata "gering" yang artinya sakit dan "sing" berarti tidak atau menolak. Sehingga bila disatukan artinya menolak penyakit, atau menolak hal yang tidak baik. Dan kain Gringsing ini dipercaya bisa sebagai penolak bala.
Tradisi Adat dan Wisata
Pertama kali konsep desa wisata dicetuskan pada sekitar awal tahun 90an, namun belum bisa berjalan karena keterbatasan dari sisi sumber daya manusianya. Pada tahun 2011, Pemerintah membuat program di mana Tenganan menjadi pilot project, dan mendapat dana selama 3 tahun. Karena sifatnya pemberdayaan, mereka menggali beberapa potensi yang bisa menjadi daya tarik wisata.
Kemudian ditindak lanjuti dengan mengembangkan peningkatan kapasitas masyarakat dalam bidang pariwisata misalnya, membuat kelompok pemandu lokal, menyiapkan tenaga administrasi, dan bidang pengelolaan. Dikuti pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata. Setelah program dari pemerintah selesai, kegiatan kepariwisataan berjalan seperti biasanya. Hal yang unik adalah wisatawan yang datang tidak dikenakan harga tiket dengan jumlah tertentu, melainkan donasi. Alasan kenapa donasi karena warga setempat mempunyai pandangan bahwa kepariwisataan di sini adalah sebuah bonus, bukan menjadi tujuan utama.
Memang daya tarik utamanya adalah budaya yang mempunyai unsur vital seperti adat, tradisi, dan upacara, dan itu semua bersifat sakral. Karena sifatnya yang sakral, budaya tersebut tidak bisa direkonstruksi atau dipentaskan menjadi sebuah atraksi ritual upacara di luar tanggal-tanggal yang sudah ditentukan. Selain itu, menurut masyarakat, pariwisata yang ada di sini harus apa adanya.
Wisatawan asing sedang berkunjung di Desa Adat Tenganan Pegringsingan,
Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Sistem donasi juga menjadi salah satu cara untuk menghindari salah persepsi dari wisatawan. “Jangan sampai wisatawan ketika sudah membeli tiket, mereka seolah-olah akan menyaksikan atraksi yang telah dipromosikan. Padahal ketika datang pada hari biasa, mereka tidak akan menyaksikkan upacara atau kegiatan apa-apa,” kata I Putu Wiadnyana, warga Desa Tenganan Pegringsingan.
Karena sifatnya donasi sehingga pendapatannya juga tidak menentu, dan tidak bisa membuat rencana atau estimasi pendapatan untuk setiap tahunnya. Dalam keadaan sebelum pandemi, donasi yang bisa dikumpulkan mencapai sekitar Rp400 juta dalam setahun. Dari jumlah total donasi yang diterima, sebanyak 25% dikelola desa administratif dan sisanya dikelola desa adat. Yang dikelola dinas akan kembali lagi menjadi program pembangunan di desa, seperti pembangunan maupun perbaikan infrastruktur, dan lain-lain. Sedangkan yang dikelola desa adat, sebagian besar dipakai untuk kegiatan ritual upacara.
Masyarakat pelaku pariwisata yang rata-rata pedagang souvenir, kerajinan tenun, anyaman, dan bentuk kerajinan yang lain, merasakan dampak langsung dari konsep ini. Mereka bisa mengelola usahanya sendiri di rumah, tetapi ada juga yang menyewa toko tempat berjualan di sekitar lahan parkir kepada desa adat. Harganya tidak terlalu mahal bila dibandingkan dengan obyek-obyek wisata lain yang ada di Bali.
Dana yang terkumpul dipakai untuk pemeliharaan lahan parkir, pintu gerbang, dan sarana pendukung lainnya. Sisanya untuk kegiatan ritual dan upacara. Sebenarnya, para wisatawan sudah berkunjung sejak jaman kolonial penjajahan dulu, terutama yang datang untuk melakukan penelitian. Mereka datang ke desa terus menulis buku, dan karena buku inilah banyak wisatawan yg berkunjung ke sini. Menurut buku ““Seri Monografi Komunitas Adat – Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem Provinsi Bali”, ada beberapa ilmuwan asing yang sudah melakukan penelitian sewaktu jaman penjajahan, antara lain, V.E.Korn (1932), R. Goris (1933), J.Belo (1936), W. Weck (1937), M. Covarubias (1937), dan M. Mead & G. Batteson (1937).
Wisatawan yang berkunjung biasanya mempunyai minat akan budaya. Desa ini mulai populer setelah peneliti ahli hukum adat asal Belanda, Victor Emanuel Korn menerbitkan bukunya “the republic of tenganan pegringsingan” pada tahun 1930. Dikutip dari buku “The Republic Of Tenganan Pegringsingan: Sampai Kapan?” karya I Nyoman Sadra - Agustus 2008, melalui yumpu.com, pariwisata Bali mulai berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda melalui agen perjalanan KPM mendatangkan 213 turis pada tahun 1924.
Setelah Indonesia merdeka, kunjungan turis semakin banyak, apalagi obyek wisata candi dasa dibuka, lebih memudahkan wisatawan untuk berkunjung ke Desa Tenganan. Kesiapan komponen untuk kepariwisataan sudah cukup komplit, dari mulai atraksi, amenitis, fasilitas, dan akses jalan. Jumlah terbanyak sekitar 55.000 – 56.000 turis yang datang ke Tenganan pada tahun 2016. Peringkat wisatawan mancanegara yang paling banyak datang berasal dari eropa barat seperti Perancis, Jerman, Belanda, diikuti Australia, Jepang, Amerika, dan Cina yang jumlahnya paling sedikit.
Berbagai atraksi yang ada bisa diolah sehingga menjadi produk pariwisata. Hal yang menarik seperti adat istiadat, tradisi, dan alam yang bisa dikombinasikan. Diperlukan cara mengemas yang apik agar dapat menjadi sebuah produk desa wisata . Dengan harapan supaya wisatawan yang datang ke sini tidak hanya sekedar jalan-jalan tapi juga membeli paket.
Artinya dengan paket tersebut mereka bisa menghabiskan waktu lebih lama. “Kami sudah coba memulai dengan teman-teman kelompok ekowisata dengan sebuah alternatif paket ekowisata desa sejak tahun 2002. Biasanya yang ke sini grup turis. Ketika para turis membeli paket ekowisata yang kami kelola, mereka akan ditemani pemandu lokal .... berinteraksi dengan warga lokal, tracking, makan siang di salah satu rumah warga. Datang jam 09.00 dan selesai jam 15.00, oneday trip,” ujar pria yang menjabat Ketua Pengelola Desa Wisata.
Paket yang ditawarkan sangat menarik dan memang andalan mereka, seperti atraksi budaya saat upacara Perang Pandan, tracking ke alam di sekitar Tenganan, kemudian di tengahnya ada atraksi proses pembuatan tuak aren. Sesampai kembali ke desa, wisatawan akan diajak keliling kawasan pemukiman, masuk ke salah satu rumah warga sambil dijelaskan fungsi bangunan. Berwisata serasa tidak lengkap bila tidak merasakan hidangan kuliner khas setempat di rumah warga, seperti jukut ononan.
Atraksi yang juga diminati adalah tenun grinsing, turis akan diajak melihat proses pembuatan dari awal sampai akhir, walupun tidak lengkap karena waktunya tidak memungkinkan. Bahkan dibeberapa kesempatan mereka diajak menggenakan pakaian adat. Harga paketnya juga ok, US$75 untuk turis asing, dan Rp350.000 bagi wisatawan lokal, minimal harus dua orang dengan reservasi. Untuk fasilitas homestay memang belum tersedia karena dalam peraturan adat, rumah dilarang untuk dikomersialisasi.
Yang mengelola adalah kelompok swadaya masyarakat dengan nama Ekowisata Desa, tentunya dengan restu desa adat. Kelompok ini mempunyai jaringan ekowisata desa lainnya. Memang untuk penjualannya masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan desa-desa lain yang mungkin lebih mapan. Lembaga ini dibentuk pada tahun 2020 dalam rangka memenuhi proses verifikasi pembukaan desa tujuan wisata dalam situasi pandemi ini, jadi harus ada struktur pengelolaan, dan lain-lain.
Ketua Pengelola Wisata, I Putu Wiadnyana. (GATRA/Jongki Handianto)
Sebelumnya tidak ada pengelola pariwisata, semua hanya berjalan alami. Pembenahan dimulai sejak penataan parkir yang diselesaikan pada 2015, berikutnya pengaturan keorganisasian bidang administrasi loket donasi, dan kantor informasi pada 2016. “Dulu hanya ada 3 petugas yang menjaga loket donasi, hanya memastikan turisnya menulis nama, asal, jumlah, dan mencatat nominal yang akan disumbangkan.
Sekarang ada tugas tambahan seperti menjelaskan dan menjaga kantor informasi tempat display foto-foto dan video tentang kegiatan tradisi atau upacara,”ujar pria berusia 38 tahun. Sebagai desa wisata yang juga desa adat dengan nomor urut 1260 dari jumlah total 1493, masih belum memiliki website resmi ataupun tim media sosial.
Dalam menghadapi masa pandemi Covid-19, Desa Tenganan Pegringsingan sebenarnya sudah siap untuk membuka dan menerima kunjungan wisatawan pada 11 Agustus 2020. Semua persyaratan seperti sarana tempat cuci tangan, ruang tunggu, protokol kesehatan, papan penunjuk, bahkan MoU dengan fasilitas kesehatan terdekat telah dilakukan, intinya sudah siap kapanpun.
“Ke depan harus ada perbaikan dalam pengelolaan, dan manajemen agar lebih layak menjadi desa wisata .... walaupun pariwisata bukan yang utama tapi bisa menjadi bonusnya,” harapan seorang sarjana arsitektur Universitas Gajah Mada 2006.
Bupati Karangasem I Gede Dana saat meninjau Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Pemerintah dan Desa Wisata
Pemerintah Daerah Karangasem melihat kebutuhan wisatawan saat ini menginginkan jenis atraksi yang berbeda. Dalam arti tidak hanya pemandangan alam, dan budaya saja. Strategi desa wisata menjadi salah satu jawaban untuk mengikuti keinginan wisatawan dan perkembangan pariwisata. Dalam konsepnya, desa wisata akan menampilkan kehidupan keseharian dari desa tersebut, perilaku, budaya, adat istiadat, termasuk kuliner. Pemerintah memilih desa-desa dengan karakter budaya, tradisi yang kuat, dan alam yang indah.
“Desa sangat tua, sehingga kami harus menjaga kelestariannya. Kami bantu mempromosikan kemudian juga membina bagaimana mempertahankan budayanya. Wisatawan memerlukan layanan yang prima, kami menyediakan tempat parkir yang bagus dan luas, termasuk kamar mandi dengan standar internasional. Tetapi semua itu tidak lari dari konsep budaya Desa Adat Tenganan Pegringsingan,” kata Bupati Karangasem I Gede Dana.
Kerbau Desa Adat
Jelang sore sekitar pukul 15.00, empat ekor kerbau jantan dan empat ekor betina sedang bermalas-malasan di lapangan rumput samping Bale Agung. Salah satunya, Jero Gede, yang tadi pagi baru pulang plesir dari luar desa. Sekumpulan kerbau milik desa itu dibiarkan lepas bebas mencari makan dan tidak dikandangkan. Setiap tahun dipilih 1 kerbau jantan untuk korban persembahan atau upacara.
Kerbau betina berwarna putih tidak digunakan untuk upacara, hanya diharapkan keturunannya atau dipotong buat pesta saja. Kriteria pemilihan korban tidak selalu berdasarkan besarnya, biasanya dipilih yang agresif atau yang terlalu sering keluar desa, dipilihnya pun melalui rapat. Kerbau yang dipakai untuk upacara diperbolehkan didapat dari luar desa, asal masih dalam keadaan utuh tidak cacat, artinya hidung belum dicucuk atau dilobangi.
Jero Gede (depan) bersama kawanan kerbau milik desa adat saat istirahat sore di samping Bale Agung,
Desa Adat Tenganan Pgringsingan, Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
“Ada tempat pemujaan kerbau di Pura Rajaparana. Ada tempat namanya Pura Kandang, konon yg bisa melihat ....di sana ada 'pengembalanya' ....sebelum disembelih kerbau harus dibawa ke sana dulu,” kata Suarjana. Saat dikorbankan untuk upacara pada bulan ke 5, kerbau harus ditusuk dengan keris pada bagian kiri badannya, tapi tidak boleh tembus ke bagian kanan. Tugas itu dilakukan para remaja putra dan kemudian dipotong sesuai ruasnya.
Terdapat aturan pembagian dagingnya sesuai tugas pokok fungsi. Seseepuh akan mendapat bagian bibir ke atas karena tugasnya mendengarkan, mencium masalah, dan mempertimbangkan masalah. Pimpinan mendapat bagian dari bibir ke bawah karena tugas sebagai juru bicaranya, kalau penyarikan atau sekretaris mendapat tulang yang menghubungkan kepala dengan badan.
Bagian bawah seperti rusuk untuk para pembantu karena tugasnya penyangga, juru arah itu mendapat kaki karena tugasnya jalan. Bagian isi perut tidak dibagikan karena akan menjadi masakan biasa. Krama desa dan perwakilan masyarakat atau keliang gumi harus dibagi secara adil. Dan yang berhak menerima dagingnya hanya sekitar 68 kepala keluarga dan 28 kepala keluarga, Gumi Pulangan dan Krama Desa Adat.
Para keliang atau ketua adat saat rapat rutin jam 20.30 di Bale Agung, Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, Karangasem,Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Rapat Jam 20.30
Tidak terasa hari telah gelap, suara jangkrik, gemerlap bintang, dan udara sejuk, membuat tubuh jadi mager alias malas gerak dari bangku. Sekitar pukul 20.30, tampak enam orang sedang duduk bersila sambil berbincang-bincang mendiskusikan sesuatu di kantor desa yang berada di Bale Agung. Mereka memakai kain adat, tanpa mengenakan baju, tapi yang pasti saput (semacam sabuk kain) dan keris tetap melekat pada tubuh.
Semua pria warga Desa Tenganan Pegringsingan wajib memakai saput dan keris, bahkan ada sanksi bila tidak memakainya. Saput dan keris boleh dicopot hanya dalam keadaan darurat. Enam orang tersebut adalah para keliang atau ketua desa yang setiap malam harus rapat membahas persoalan-persoalan, dimulai pukul 20.30 hingga selesai. Hasil rapat akan diberitahukan kepada masyarakat melalui petugas pengarah atau saye arah.
Saye arah atau petugas pengarah menyampaikan hasil rapat kepada beberapa warga di Desa Adat Tenganan
Pegringsingan, Karangasem, Bali. (GATRA/Jongki Handianto)
Di saat orang sedang sibuk membuka Whatsapp grup atau Telegram, tiba-tiba terdengar, “Hiyeeee ..... hiyeeee,” teriakan lantang salah satu saye arah di depan salah satu pintu rumah warga. Mereka memulai tugasnya dari rumah pertama yang berada di paling selatan, terus lanjut sampai ke ujung utara. Teriakan saye arah itu juga yang mengingatkan waktu sudah cukup larut malam, dan saatnya harus meninggalkan desa kuno yang berhasil menjaga kekayaan budaya, tradisi, dan lingkungannya.