Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum tata negara (HTN) dari Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menilai wacana amandemen UUD 1945 yang sedang digulirkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) cacat konsep dan paradigma.
Diketahui, amandemen konon akan dilakukan secara terbatas, yakni menambah satu ayat pada pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan pokok-pokok haluan negara (PPHN). Kemudian, penambahan ayat pada ketentuan pasal 23 yang mengatur kewenangan DPR untuk menolak RUU APBN.
Menurutnya, rencana amandemen UUD 1945 butuh kehati-hatian, kecermatan, dan pembahasan cukup mendalam karena akan berimplikasi pada konstruksi hukum tata negara secara keseluruhan. Karena itu, tidak bisa diputuskan secara terburu-buru, parsial, dan serampangan.
“Secara konstitusional maupun teroretis, amandemen konstitusi merupakan sebuah keniscayaan untuk mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan, serta dinamika hukum masyarakat. Amandemen UUD 1945 harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati, setidaknya wajib menggunakan parameter untuk mengukur tingkat urgensinya,” ungkap Fahri dalam keterangannya, Minggu (5/9).
Lebih lanjut, Fahri merujuk lima kesepakatan dasar yang disusun oleh Panitia Ad Hoc I saat proses pembahasan perubahan UUD 1945, mulai amandemen pertama hingga keempat tahun 1999–2002. Kesepakatan dasar yang pertama ialah tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
“Kedua, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Keempat, penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh). Kelima, melakukan perubahan dengan cara adendeum,” jelasnya.
Fahri menyatakan, wacana penambahan kewenangan MPR RI untuk menetapkan PPHN dalam UUD 1945 akan menganulir dan mereduksi sistem pemerintahan presidensial. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip penguatan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana kesepakatan dasar tersebut.
Secara konstitusional, kata Fahri, mestinya ketentuan pasal 37 ayat (1) UUD 1945 bisa menjadi penyaring atas gagasan amandemen itu. Sebab, pasal 37 ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa ‘Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat’.
Sementara, pasal 37 ayat (2) menegaskan ‘Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya’.
“Hal tersebut sekaligus untuk memitigasi jika konsep usulan itu, ternyata menyasar pada bagian tertentu dari UUD yang bersifat melemahkan. Kalau itu yang terjadi, maka secara paradigmatik keseluruhan struktur UUD 1945 tentu mengalami pergeseran yang sangat elementer,” imbuhnya.
Fahri menuturkan, pranata GBHN/PPHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini. Sebelum amandemen UUD 1945, GBHN merupakan mandat konstitusional MPR untuk presiden karena sistem yang berlaku ketika itu presiden dipilih oleh MPR.
“Saat itu, secara teoretis kita memang membangun supremasi parlemen dengan seluruh konsentrasi kekuasaan ada pada MPR. Konsekuensinya, MPR memiliki kewenangan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan dokumen hukum GBHN. Sehingga, MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden,” jelasnya.
Jika PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat, menurut Fahri, hal itu cukup diakomodasi dalam payung hukum yang mempunyai derajat di bawah konstitusi, yakni Undang-Undang agar lebih fleksibel menampung kebutuhan terkini.
“Tidak ada urgensinya jika basis pengaturan membutuhkan derajat konstitusi. Gagasan PPHN sangat tidak futuristik dengan konsep negara demokrasi konstitusional dan negara modern, yang mana setiap proyeksi perencanaan pembangunan nasional berbasis pada kondisi faktual serta riset yang mendalam. Tidak hanya sekadar ideologi yang sangat abstrak karena berupa konsep-konsep ideal,” ungkapnya.