Jakarta, Gatra.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), MS, mengalami trauma mendalam atas pelecehan seksual dan perundungan yang diterimanya oleh rekan kerjanya sendiri. Penderitaan yang dialami korban diduga sudah berlangsung sejak lama.
Selain korban, Komnas HAM menyatakan bahwa keluarga korban turut merasakan trauma atas peristiwa tersebut. Keluarga MS disebut terkejut sebab kasus pelecehan dan perundungan itu menjadi viral.
"Perlu menjaga korban dan keluarga supaya trauma tidak menambah," kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam keterangannya, Jumat (3/9).
Meski, Komnas HAM belum mau terburu-buru menetapkan bahwa kasus ini sudah memenuhi unsur pelanggaran HAM. Saat ini korban dan beberapa pihak terkait dalam kasus tersebut masih harus dimintai keterangan.
"Saat ini kita belum menyimpulkan ada pelanggaran HAM atau tidak, ini masih dalam tahap mencari keterangan dari korban terus juga pihak terkait, KPI dan polisi," kata Beka.
Jika sudah bisa dimintai keterangan secara utuh, lanjut Beka, maka peristiwanya bisa menjadi terang. Substansi keterangan seperti pelaku, bentuk kekerasan, dan upaya yang dilakukan dari KPI dan polisi bisa diketahui. Setelahnya baru bisa dianalisis untuk melihat apakah ada dugaan pembiaran atau tidak.
"Kalau ada (pembiaran), memang itu pelanggaran HAM. Tapi kan belum dapat keterangan upaya dari KPI dan polisi," dia mengungkapkan.
MS disebut mendapat perundungan dan perlakuan tak senonoh dari rekan kerjanya di kantor tersebut selama 2012-2019.
Perundungan dan perlakuan tak senonoh tersebut meliputi makian bernuansa SARA, pemukulan, hingga pelecehan seksual seperti menelanjangi korban, mencoret, maaf, alat kemaluan korban dengan spidol, lalu memfotonya.
“Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus menerus dan berulang ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan pelan,” ujar korban dalam keterangan tertulisnya yang tersebar di WhatsApp, Rabu, (1/9/2021).
Korban menyebut ada tujuh terduga pelaku yang merundung dan melecehkannya. Ketujuh pelaku tersebut diduga berasal dari divisi humas dan visual data KPI Pusat.
“Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan mencoret....memakai Spidol. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan (maaf) kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online,” tutur korban.
Korban mengaku mendapatkan efek buruk dari segi fisik dan segi mental atas perundungan dan pelecehan tersebut. Ia juga menderita hipersekresi cairan lambung yang diakibatkan oleh trauma dan stres. Selain itu, ia didiagnosa menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Hal itu diketahui setelah ia memeriksakan diri ke dokter.
Pada Agustus 2017, korban sempat mengadukan persoalan ini kepada Komnas HAM. Komnas HAM menyimpulkan apa yang dialami oleh korban sebagai kejahatan atau tindak pidana. Komnas HAM kemudian menyarankan korban untuk membuat laporan kepolisian.
Dua tahun berselang, 2019, korban memberanikan diri untuk melapor ke Polsek Gambir. Korban tak puas dengan respons pihak kepolisian yang waktu itu hanya menyarankan untuk mengadukan masalah ini ke atasan kantor.
Korban pun kemudian melaporkan permasalahan ini ke atasannya di tahun yang sama. Saat dihubungi oleh Gatra.com (1/9/2021) sore, korban menolak menerangkan atasan siapa yang dimaksud, termasuk posisi jabatannya di kantor.
“Akhirnya saya mengadukan para pelaku ke atasan sambil menangis, saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap ‘ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar,’” ujar korban.
“Sejak pengaduan itu, para pelaku mencibir saya sebagai manusia lemah dan si pengadu. Tapi mereka sama sekali tak disanksi dan akhirnya masih menindas saya dengan kalimat lebih kotor. Bahkan pernah tas saya di lempar keluar ruangan, kursi saya dikeluarkan dan ditulisi ‘Bangku ini tidak ada orangnya’. Perundungan itu terjadi selama bertahun tahun dan lingkungan kerja seolah tidak kaget. Para pelaku sama sekali tak tersentuh,” imbuh korban.
Pada 2020, korban kembali melaporkan kasus ini ke Polsek Gambir. Namun, lagi-lagi, korban kecewa dengan respons polisi saat itu. "Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya,” ujar korban menirukan seorang petugas polisi tersebut.