Jakarta, Gatra.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menduga ada pembiaran dalam penanganan kasus pelecehan seksual dan tindak perundungan yang dialami oleh MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat. Sebab, korban sudah pernah melaporkan peristiwa ini ke Komnas HAM pada Agustus 2017 dan sudah direspons pada September 2017.
Saat itu, Komnas HAM menyatakan ada dugaan kejahatan atau tindak pidana dalam kasus pelecehan seksual dan perundungan tersebut. Maka, Komnas HAM menyarankan korban untuk membuat laporan kepolisian.
"Ada dugaan pembiaran dan korban tidak ditangani dengan baik. Pertama (kejadiannya) berulang. Kedua, berakibat kepada psikis, trauma, fisik (korban). Ada upaya dokter untuk menyembuhkan korban," kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara dalam video keterangannya, Jumat (3/9).
Saat ini, Komnas HAM masih menunggu korban untuk memberikan keterangannya. Beka menyatakan, pihaknya mengutamakan kenyamanan dan keamanan korban untuk bersuara.
"Kita komunikasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) supaya membantu perlindungan keamanan korban," kata Beka.
Selain meminta keterangan, Beka mengatakan pihaknya mendukung pendampingan pemulihan trauma yang dialami korban agar korban tetap menjaga keberaniannya. Ia mengapresiasi MS yang sudah berani mengungkap peristiwa itu ke publik, karena tak semua korban memiliki keberanian sebesar itu.
Sejurus itu, Komnas HAM berupaya agar korban mendapatkan keadilan. Beka membeberkan, keadilan itu di antranya memantau proses hukum yang dijalankan, pasal yang dikenakan, fakta pelecehan dan perundungan yang dialami, sampai proses pengadilan transparan dan adil kepada korban. Kejadian yang dialami korban, kata Beka, merupakan kekerasan seksual yang tipologinya berbeda.
"Saya menyediakan ruangan saya untuk mendengarkan keterangan korban sehingga aman dan nyaman, itu yang terpenting dari mendengarkan keterangan korban," ungkapnya.
MS disebut mendapat perundungan dan perlakuan tak senonoh dari rekan kerjanya di kantor tersebut selama rentang waktu 2012-2019.
Perundungan dan perlakuan tak senonoh tersebut meliputi makian bernuansa SARA, pemukulan, hingga pelecehan seksual seperti menelanjangi korban, mencoret buah zakar korban dengan spidol, lalu memfotonya.
“Sejak awal saya kerja di KPI Pusat pada 2011, sudah tak terhitung berapa kali mereka melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa saya lawan. Saya sendiri dan mereka banyak. Perendahan martabat saya dilakukan terus menerus dan berulang ulang sehingga saya tertekan dan hancur pelan pelan,” ujar korban dalam keterangan persnya pada Rabu, (1/9/2021).
Korban menuding terdapat tujuh terduga pelaku yang merundung dan melecehkannya. Ketujuh pelaku tersebut diduga berasal dari divisi humas dan visual data KPI Pusat.
“Tahun 2015, mereka beramai ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan saya dengan MENCORAT CORET BUAH ZAKAR SAYA MEMAKAI SPIDOL. Kejadian itu membuat saya trauma dan kehilangan kestabilan emosi. Kok bisa pelecehan jahat macam begini terjadi di KPI Pusat? Sindikat macam apa pelakunya? Bahkan mereka mendokumentasikan kelamin saya dan membuat saya tak berdaya melawan mereka setelah tragedi itu. Semoga foto telanjang saya tidak disebar dan diperjualbelikan di situs online,” tutur korban.
Korban mengaku mendapatkan efek buruk dari segi fisik dan segi mental atas perundungan dan pelecehan tersebut. Dalam keterangannya, ia mengaku menderita Hipersekresi Cairan Lambung yang diakibatkan oleh trauma dan stres. Selain itu, ia juga didiagnosa menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pada Agustus 2017, korban sempat mengadukan persoalan ini kepada Komnas HAM. Komnas HAM menyimpulkan apa yang dialami oleh korban sebagai kejahatan atau tindak pidana. Komnas HAM kemudian menyarankan korban untuk membuat laporan kepolisian.
Dua tahun kemudian, pada 2019, korban memberanikan diri untuk melapor ke kepolisian. Ia melapor ke Polsek Gambir. Hanya saja korban tak puas dengan respons pihak kepolisian yang waktu itu hanya menyarankan untuk mengadukan masalah ini ke atasan kantor.
Korban pun kemudian melaporkan permasalahan ini ke atasannya di tahun yang sama. Saat dihubungi oleh Gatra.com sore tadi, (1/9/2021), korban menolak menerangkan atasan siapa yang dimaksud, termasuk posisi jabatannya di kantor.
“Akhirnya saya mengadukan para pelaku ke atasan sambil menangis, saya ceritakan semua pelecehan dan penindasan yang saya alami. Pengaduan ini berbuah dengan dipindahkannya saya ke ruangan lain yang dianggap ‘ditempati oleh orang orang yang lembut dan tak kasar,’” ujar korban.
“Sejak pengaduan itu, para pelaku mencibir saya sebagai manusia lemah dan si pengadu. Tapi mereka sama sekali tak disanksi dan akhirnya masih menindas saya dengan kalimat lebih kotor. Bahkan pernah tas saya di lempar keluar ruangan, kursi saya dikeluarkan dan ditulisi ‘Bangku ini tidak ada orangnya’. Perundungan itu terjadi selama bertahun tahun dan lingkungan kerja seolah tidak kaget. Para pelaku sama sekali tak tersentuh,” imbuh korban.
Pada 2020, korban kembali melaporkan kasus ini ke Polsek Gambir. Namun, lagi-lagi, korban kecewa dengan respons polisi saat itu. "Begini saja pak, mana nomor orang yang melecehkan bapak, biar saya telepon orangnya,” ujar korban menirukan seorang petugas polisi tersebut.