Jakarta, Gatra.com – Wacana menyatuhkan kembali Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) terus bergulir. Dewan Penasihat Pusat Bantuan Hukum (PBH) DPN Peradi, Rivai Kusumanegara, mengusulkan, agar pimpinan Peradi dijabat secara kolektif.
Rivai di Jakarta, Jumat (3/9), berpendapat, dengan konsep ini maka diharapkan terdapat keterwakilan dari pihak-pihak atau ketiga kubu yang berselisih. Untuk membentuk kepengurusan yang baru, mekanismenya melalui musyawarah nasional (Munas) Bersama.
Dari hasil Munas tersebut, lanjut Rivai, kandidat yang memperoleh suara terbanyak menjadi ketua umum (Ketum), kedua terbanyak sebagai Ketua I, ketiga terbanyak sebagai Ketua II, dan begitu seterusnya.
“Model kepemimpinan kolektif diharapkan akan menjawab konflik selama ini, baik karena kekecewaan terhadap Munas maupun perbedaan cara pandang yang sebenarnya dapat diuji dan diputuskan secara kolektif,” ujarnya.
Rivai mengusulkan gagasan tersebut karena upaya penyatuan atas perpecahan tersebut optimistis berhasil jika memedomani prinsip-prinsip rekonsiliasi serta dengan mengutamakan kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini penguatan profesi advokat maupun kepentingan penegakan hukum dan masyarakat pencari keadilan.
Ia berpendapat, syarat penyatuan dengan melarang pihak-pihak tertentu mencalonkan diri dalam Munas Bersama dirasa kurang tepat. Mengingat prinsip rekonsiliasi justru mendorong kebersamaan dan saling berperan untuk memastikan proses rekonsiliasi berjalan sesuai rencana.
Sesuai pendapat Melor & Bretherton, lanjut Rivai, terdapat tiga prinsip dalam rekonsiliasi, yakni berdamai dengan masa lalu, mengambil tanggung jawab di masa sekarang, serta bekerja sama untuk masa depan yang lebih baik.
“Saya berpandangan tokoh-tokoh senior harus bertanggung jawab dan ambil bagian dalam rekonsiliasi, bukan justru meninggalkan arena. Apalagi konflik enam tahun ini telah menimbulkan kerenggangan hingga ke daerah dan perlu proses untuk nge-blend kembali,” ujarnya.
Rivai mengkhawatirkan jika larangan mencalonkan diri terjadi di tingkat pusat akan menjadi preseden dalam Musda Bersama dan dapat menimbulkan riak tersendiri di daerah.
Jika usulan konsep keterwakilan ini bisa diterima tokoh-tokoh senior Peradi, Rivai yakin, riak-riak tersebut dapat dihilangkan dan peluang rekonsiliasi terbuka terhadap organisasi di luar Peradi agar wadah tunggal advokat yang menjadi amanah Undang-Undang (UU) Advokat Nomor 18 Tahun 2003 dapat terwujud kembali.
Menurutnya, wadah tunggal atau single bar organisasi advokat ini sangat penting demi menjamin kualitas, pembinaan, dan pengawasan advokat dalam mewujudkan penegakan hukum yang baik dan melindungi masyarakat pencari keadilan.
"Mengingat dengan menjamurnya organisasi advokat, memungkinkan oknum advokat berpindah-pindah guna menghindari sanksi etik serta terjadinya ketimpangan kualitas advokat," tandas Rivai.