Jakarta, Gatra.com – Petani cabai akhir-akhir ini kelimpungan. Penyebabnya, permintaan akan cabai beberapa waktu terakhir menurun dan menekan harganya dan merugikan petani cabai. Apalagi, petani baru saja memasuki masa panen.
Menurut Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani hal seperti itu sebenarnya dapat dicegah. Salah satunya dengan mengembangkan cold chain atau rantai dingin yang dapat menjaga kestabilan suhu komoditas.
“Penggunaan rantai dingin dapat membantu petani dalam menjaga hasil panennya. Berkurangnya permintaan cabai sangat mungkin disebabkan oleh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membatasi kegiatan operasional rumah makan, restoran dan juga menurunnya daya beli sebagian kalangan masyarakat akibat pandemi Covid-19,” kata Arumdriya Murwani, Selasa (31/8).
Sistem rantai dingin adalah jenis rantai suplai yang penggunaannya bertujuan untuk menjaga suhu agar produk tetap terjaga selama proses distribusi. Pengembangan sistem ini secara komprehensif dapat membantu menjaga kualitas hasil panen dimulai dari pengangkutan, penyimpanan dan penjualan.
Harga cabai biasanya fluktuatif mengikuti masa panen yang biasanya terjadi enam kali dalam setahun. Menurut Anwarudin, Sayekti, Marendra, & Hilman (2015) harga tinggi umumnya terjadi pada jeda antara masa tanam yaitu di bulan November – Februari. Namun, anjloknya harga juga bisa terjadi saat terjadi surplus pasokan pada masa panen raya.
“Surplus stok di pasar menyebabkan harga anjlok dan merugikan petani cabai. Sebaliknya, ketika musim tanam sudah lewat dan produksi tidak stabil, tidak ada stok yang dapat digunakan untuk menstabilkan harga cabai di pasaran. Akibatnya, harga cabai melonjak naik sehingga merugikan konsumen,” tambahnya.
Dengan sistem penyimpanan yang modern dan infrastruktur rantai dingin yang memadai, masa simpan cabai dapat diperpanjang dan dengan demikian dapat membantu menstabilkan harga di pasaran. Selain menjaga kesegaran, penggunaan sistem penyimpanan yang modern dapat membantu indonesia mengurangi tingkat kehilangan makanan (food loss) dalam proses distribusi pangan.
Sayangnya, kapasitas sistem penyimpanan dan lemari pendingin di Indonesia belum memadai untuk menjawab kebutuhan pasar sehingga mengakibatkan masih tingginya tingkat limbah pangan, sekaligus berkontribusi kepada fluktuasi harga pangan di masyarakat.
Stok cabai yang melimpah di masa panen raya harus langsung dijual, karena kapasitas penyimpanan saat ini hanya mampu mempertahankan kesegaran cabai selama 30 hari.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk berinvestasi pada lemari pendingin yang modern untuk memperpanjang masa simpan stok cabai rawit,” jelas Arum
Pengembangan dan adaptasi teknologi pendingin dalam sistem distribusi Indonesia membutuhkan peran aktif dan kolaborasi dari pemerintah, swasta dan masyarakat karena pengelolaan rantai dingin membutuhkan sumber daya manusia yang memahami metode pemeliharaan infrastruktur rantai dingin dan bisa memastikan cara penyimpanan setiap komoditas sudah sesuai dengan karakteristiknya.
Harga pangan yang fluktuatif, tidak hanya pada cabai, menunjukkan faktor penyimpanan pangan masih terlupakan dalam wacana ketahanan pangan. Pemerintah, swasta dan masyarakat dapat bersinergi dalam pengembangkan infrastruktur dan teknologi lemari pendingin ini.