Jakarta, Gatra.com – Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) Timbul Sinaga mengatakan proses ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa atau International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (ICPPED) sempat mengalami beberapa kendala.
Hal itunya diungkapkan dalam diskusi bertajuk “Meneropong Dampak dan Kendala Molornya Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa di Indonesia”, yang langsung via YouTube KontraS pada Senin, (30/8).
Timbul mengatakan kendala yang pertama adalah tidak adanya argumentasi yang jelas dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) periode 2010-2014, terkait tertundanya proses ratifikasi ICPPED yang telah dibahas sejak tahun 2010 lalu.
Dengan demikian, perlu kiranya untuk melakukan pendekatan kepada badan legislatif untuk menggambarkan urgensi Indonesia meratifikasi konvensi tersebut.
“Kendala dalam proses ratifikasi konvensi ini, yang pertama, tidak ada argumentasi yang jelas dari yang dulu lah ya, DPR RI 2010-2014. Dan mengapa ini ditunda,” terangnya.
Yang kedua, ujar Timbul, minimnya catatan atau institutional memory yang dapat dirujuk, sehingga dapat menyulitkan saat melakukan tracing atau merunut kembali sejauh mana proses ratifikasi yang telah dilakukan.
Hal ini utamanya karena sering berganti-gantinya pejabat di tataran pemerintah yang menangani isu tersebut.
“Ya itulah kondisinya, artinya tidak ada niat yang tidak baik. Pada prinsipnya, karena mungkin pejabatnya masih berganti-ganti dan tidak mengikuti sebelumnya,” katanya.
Kemudian kendala yang ketiga dalam proses ratifikasi ICPPED ini, yaitu persoalan realokasi dan refocusing anggaran tahun 2021 juga menjadi salah satu hambatan dalam proses rafikasi konvensi tersebut. Hal ini mengingat akan berkurangnya dukungan penganggaran untuk mendukung persiapan ratifikasi, baik secara teknis maupun substansi.
Kendala terakhir, jelas Timbul, ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa ini dilakukan sebagai bagian komitmen pemerintah dalam pemajuan dan perlindungan HAM.
“Meskipun dalam prosesnya, mungkin tidak akan mulus, mengingat sensitivitas isu,” sambungnya.
Sementara itu Timbul mengatakan ratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa merupakan wujud komitmen perlindungan HAM. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 28G Ayat (1) dan (2) serta Pasal 28G Ayat (1) yang meliputi hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, untuk bebas dari perlakuan atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati, hak hati nurani, hak untuk diperbudak, hak beragama untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dasar hukum yang berlaku surut.