Jakarta, Gatra.com – Dalam memastikan harga beras yang stabil dan terjangkau, pemerintah perlu memastikan bahwa rantai distribusi beras di Indonesia dapat berjalan secara efektif.
“Panjangnya rantai distribusi beras di Tanah Air menyebabkan harga beras tinggi dan merugikan beberapa pihak seperti petani dan pedagang eceran. Ironisnya rantai distribusi ini justru menguntungkan sejumlah pihak yang justru berada di antara pihak-pihak yang merugi,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta dalam keterangannya, Senin (30/8).
Penelitian CIPS ini menilai, beras harus melalui empat sampai enam titik distribusi sebelum sampai ke tangan konsumen. Pertama, petani menjual berasnya kepada tengkulak atau pemotong padi, yang akan mengeringkan padi dan menjualnya kepada pemilik penggilingan. Pemilik penggilingan akan menjual beras yang dihasilkannya ke pedagang grosir berskala besar yang memiliki gudang penyimpanan.
Pedagang grosir ini akan kemudian menjual beras tersebut kepada pedagang grosir berskala kecil di tingkat provinsi (seperti di Pasar Induk Beras Cipinang) atau kepada pedagang grosir antar pulau. Pihak terakhir inilah yang akan menjual beras kepada para pedagang eceran.
“Dalam setiap rantai distribusi, margin laba terbesar dinikmati oleh para tengkulak, pemilik penggilingan padi atau pedagang grosir. Di Pulau Jawa, margin laba ini berkisar antara 60% - 80% per kilogram. Sebaliknya, para pedagang eceran justru hanya menikmati margin laba dengan kisaran antara 1,8% - 1,9% per kilogram,” terang Aditya.
Situasi ini menunjukkan laba besar terbesar dalam rantai distribusi dinikmati pihak-pihak tertentu justru sebelum beras sampai di pasar eceran. Hal inilah yang mendasari argumen CIPS yang menyebut kebijakan sekarang ini tidak efektif.
Aditya memaparkan, kebijakan ini melalui penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), memaksa para pedagang eceran untuk menurunkan harga jual beras padahal mereka bukanlah pihak yang menyebabkan tingginya harga komoditas yang satu ini.
Sementara itu, Bulog sebagai pihak yang ditugaskan untuk menyerap beras dari petani seringkali kesulitan memenuhi target dikarenakan kekurangan anggaran dan kesulitan bersaing dengan harga pasar. Sebagai satu-satunya importir beras, Bulog juga tidak mampu cepat merespon kebutuhan pasar karena harus menunggu keputusan rapat koordinasi terbatas dari pemerintah.
CIPS merekomendasikan agar Bulog sebaiknya lebih dimaksimalkan dalam distribusi beras untuk korban bencana alam atau situasi darurat lainnya termasuk menyiapkan, mengelola dan mendistribusikannya ke lokasi bencana.
“Pemerintah perlu membuka kesempatan kepada swasta untuk terlibat dalam impor beras. Membuka kesempatan kepada swasta akan menciptakan persaingan yang sehat antara importir dan mereka yang mampu bertahan akan terseleksi dengan sendirinya. Harga beras juga akan semakin kompetitif,” jelasnya.
Pemerintah sebaiknya fokus pada peranannya sebagai regulator dan pengawas, melakukan verifikasi informasi yang diberikan pihak swasta dan menetapkan kriteria terkait beras yang diimpor.
Importir maupun eksportir swasta seharusnya diberi keleluasaan untuk melakukan perdagangan beras dengan membaca kebutuhan pasar beras nasional maupun internasional. Tentu postur pertanian domestik pun harus dibenahi untuk meningkatkan daya saing, diantaranya dengan meningkatkan akses petani terhadap sarana produksi, lahan, sumber pembiayaan, serta meningkatkan kelancaran logistik dan penyediaan infrastruktur.