Home Politik Pakar UGM: Lihat Argentina! Ubah UUD demi Presiden 3 Periode, Negara Kacau

Pakar UGM: Lihat Argentina! Ubah UUD demi Presiden 3 Periode, Negara Kacau

Yogyakarta, Gatra.com – Indonesia diminta belajar dari Argentina yang sempat mengubah undang-undang dasarnya demi jabatan presiden tiga periode dan berujung pada kacaunya negara tersebut. Amandemen UUD 1945 dinilai belum mendesak dan bisa membuat negara tak stabil.

Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, dalam siaran pers UGM, Senin (30/8), merespons isu amandemen UUD dan perpanjangan jabatan presiden.

“Jika UUD diubah hanya untuk memenuhi hasrat sesaat, pasti UUD akan detail dan tidak long lasting. Lihat saja pengalaman (Presiden) Carlos Menem di Argentina. Dia berhasil mengubah UUD untuk melanggengkan kekuasaannya selama tiga periode, tetapi tetap saja akhirnya terjadi kekacauan dan kemudian UUD Argentina diubah lagi dengan mengembalikan ke posisi semula,” papar Andi.

Andi menyatakan, secara filosofis, UUD 1945 merupakan kontrak dasar hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah, serta antar-para pemegang kekuasaan negara. Oleh karena itu, UUD adalah kontrak jangka panjang dalam penyelenggaraan negara, bukan untuk kepentingan sesaat.

Untuk itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak perlu sering-sering melakukan amandemen UUD 1945. Apalagi saat ini tak ada hal yang mendesak. Jika dipaksakan dan sering terjadi amandemen, menurut Andi, negara tidak pernah akan stabil secara hukum dan politik.

“Setiap negara yang terlalu sering mengubah konstitusinya akan mengakibatkan negara tersebut tidak akan pernah stabil. Hal ini disebabkan karena fondasi dasar negara itu sering diubah-ubah maka bangunan negara itu selalu akan bergeser. Padahal, untuk dapat stabil diperlukan waktu yang panjang,” kata Andi.

Menurutnya, konstruksi amandemen UUD 1945 sekarang ini, khususnya soal keputusan akhir perubahannya. condong dikuasai oleh partai politik. Lembaga negara atau alat negara manapun dapat mengajukan permintaan amandemen UUD kepada MPR.

MPR lalu akan menelaah dan memutuskan dalam rapat paripurna MPR. Padahal, MPR beranggotakan anggota DPR dan DPD. “Jika kemudian seluruh anggota DPR yang semuanya berasal dari parpol menyetujuinya, maka proses amandemen pasti terjadi,” kata Andi.

Padahal, menurut Andi, saat ini dari aspek hukum tata negara, tidak ada hal mendesak untuk melakukan amandemen. Namun, dari aspek politik, amandemen bisa saja terjadi. “Hanya saja sampai saat ini saya tidak tahu hal apa yang mendesak dari sisi politik,” ujarnya.

Saat ini juga mengemuka soal pengembalian haluan negara seperti GBHN di era Orde Baru. Andi menjelaskan, aturan itu bertentangan dengan konsep pemilihan langsung presiden dan wakil presiden dan sistem presidensial yang dianut Indonesia.

Jika GBHN berlaku dan pemerintah melaksanakan program kerja dari MPR, Indonesia berarti negara parlementer, kendati MPR tak bisa sepenuhnya dikategorikan sebagai parlemen.

“Bukankah rakyat memilih seseorang menjadi presiden lebih didasarkan pada preferensi program kerja yang ditawarkan dalam kampanye seorang calon presiden, sehingga ketika terpilih, program kerja itulah yang harus diimplementasikan. Oleh karenanya, tidak bisa diadopsi secara bersamaan dalam UUD 1945. Harus dipilih salah satu,” ucapnya.

 

11344