Yogyakarta, Gatra.com - Pemerintah tidak bisa menggunakan delik pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sesuai pasal 137 KUHP sebagai dalih menghapus mural bernada kritik.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Riset dan Edukasi, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Ahmad Ilham Wibowo, lewat pernyataan tertulis, Jumat (27/8).
Hal itu karena delik tersebut telah dibatalkan MK lewat Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006. “Selain itu, presiden dan wakil presiden juga bukan termasuk lambang negara sebagaimana diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,” kata Ahmad.
Ia menjelaskan, pemerintah tidak boleh menghapus mural bernada kritik yang marak belakangan ini secara sembarangan. Mural baru dilarang jika terdapat muatan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan atau dibuat di tempat-tempat yang tak seharusnya, seperti tempat ibadah.
"Mural merupakan salah satu perwujudan kebebasan berpendapat atau memberikan kritik dalam bentuk tulisan yang dijamin oleh Pasal 28 UUD RI 1945. Oleh karenanya, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi hak tersebut dan tidak boleh mengintervensinya,” kata Ahmad.
Ia menyayangkan pemerintah yang bersikap yang responsif dengan melakukan penghapusan terhadap mural-mural tersebut. Menurut dia, pemerintah boleh membatasi hak berpendapat tersebut dengan beberapa syarat, seperti diatur dalam undang-undang, misalnya melanggar pasal 157 KUHP.
“Melihat ketentuan dalam undang-undang, tidak ada undang-undang yang secara tegas melarang membuat mural dengan muatan kritik. Terdapat perbedaan jelas antara kritik dengan penghinaan,” ujarnya.
Pemerintah daerah lewat Satpol PP pun tak boleh secara sembarangan menghapus mural bermuatan kritik dengan alasan menjaga gangguan ketentraman dan ketertiban umum.
“Tindakan menghapus mural harus diatur dalam peraturan daerah (perda). Walaupun sudah diatur dalam perda, tidak semua mural dapat dilarang dan diperbolehkan untuk dihapus pemerintah, kecuali yang tidak memenuhi alasan-alasan yang sah,” ujar Ahmad.