Pekanbaru, Gatra.com - Cukup dekat dengan Singapura bukan jaminan bagi pengembang startup di Riau untuk masuk dalam radar venture capital di Negeri Singa. Singapura sendiri dikenal sebagai pusat venture capital di kawasan Asia Tenggara.
Ketua Asosiasi Pengembang Startup di Provinsi Riau, Khairul Anwar Ade Saputra, menyebut alih-alih melirik startup di Bumi Lancang Kuning, pemodal di Singapura lebih tertarik pada startup di Jakarta.
Menurut Ade, ketertarikan tersebut bukan karena kurangnya minat venture capital asing terhadap startup besutan daerah. Tapi lebih kepada pergeseran point of view para investor belakangan ini.
Pergeseran tersebut, ungkap Ade, dilatari meningkatnya daya jual seorang founder dibanding aplikasi.
"Jadi misalkan kita punya startup, dan aplikasi tersebut berhasil memecahkan solusi di daerah. Mereka akan berpikir kalau itu memang menjanjikan dan ada pertumbuhan, bagaimana nantinya jika startup sekelas Gojek atau startup besar lainnya di Jakarta masuk ke daerah, dan me-create fitur yang sama. Tentu, peluang startup daerah melawan Gojek dan rekan-rekan sudah bisa diprediksi hasilnya,” katanya.
Jadi lanjut Ade, lebih baik berinvestasi di startup seperti Gojek atau startup lainya di ibukota Jakarta karena prospeknya lebih jelas. Ini menandakan ranah startup bukan lagi sebatas aplikasi, karena toh aplikasi juga bisa di create oleh pemain.
“Artinya, venture capital sekarang melihat founder dibalik aplikasi alih-alih aplikasi itu sendiri,"terang CEO Cowin ini kepada Gatra.com, di Pekanbaru,Jumat (27/8).
Di Riau sendiri saat ini terdapat lebih kurang 30-an startup, jumlah tersebut menciut dari 80-an startup pada tahun 2018. Seretnya jumlah startup ini, kata Ade bukan hanya dipicu oleh pandemi Covid-19, melainkan terbatasnya suntikan dana, dan pendampingan yang minim dalam penyusunan bisnis model.
"Lantaran kebanyakan startup di Riau itu pendanaanya boostrapping (modal sendiri), ditambah model bisnis yang belum jelas apalagi pandemi Covid-19 ini memang sangat berdampak juga, terutama di sektor logistik hingga grosir sekalipun," katanya.
Ade mengatakan, banyak pengembang startup di Riau terjebak antara mengincar growth (pertumbuhan) atau profit. Ia mengamini startup yang "jadi" umumnya mengincar growth, namun hal ini cukup riskan diterapkan di daerah. Sebab, dengan mengandalkan modal sendiri untuk bertumbuh, maka founder startup akan keteteran.
Ia pun menyarankan untuk mengutamakan profit di pasar yang sempit, alih-alih meraih pertumbuhan di pasar yang besar.
"Kita di daerah akan sulit jika meniru Gojek, Traveloka, Bukalapak dan yang lainya, yang bertumbuh luar biasa dan disokong investor. Kalau pun berharap ada angel investor di daerah, ada tantangan di digital mindset, lantaran mereka langsung menanyakan profit dari awal. Sementara kita tahu di tahap awal startup itu kan bakar duit. Nah, kalau di Jakarta dan Singapura yang siap untuk ‘bakar duit’ itu kan banyak," katanya.