Jakarta, Gatra.com - Pemberian remisi terhadap narapidana korupsi Djoko Tjandra yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mendapat sorotan tajam dari publik. Pasalnya, perbuatan Djoko Tjandra yang menyuap Polisi dan Kejaksaan dinilai sudah mencoreng wajah hukum Indonesia.
Pengamat Kebijakan Lembaga, Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, pemberian remisi terhadap Djoko Tjandra mendapat banyak sorotan masyarakat lantaran rekam jejaknya sebagai terpidana kasus Cessie bank Bali dan sekaligus menjadi buronan selama 11 tahun.
"Dalam pemberian remisi itu apakah prosedurnya dijalani atau enggak, karena yang bersangkutan pernah memiliki rekam jejak seperti itu. Nah itu yang dipertanyakan disitu, cara mendapat remisinya benar atau enggak," ujarnya ketika dikonfirmasi, Jakarta, Rabu (25/8).
Menurutnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) sebagai pemegang otoritas dalam pemberian remisi tersebut harus bertindak sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku. Jangan hanya sekedar mengumumkan remisi, tapi harus dijelaskan bagaimana prosedurnya untuk mengurangi dugaan praktik suap saat pemberian remisi.
"Jadi itu yang perlu disampikan, jadi tidak sekedar siapa mendapat remisi harus ada uraian lebih mendalam sehingga terhindar dari tadi keraguan masyarakat, praktik-praktik itu berjalan di Lapas," ungkapnya.
Oleh karena itu, dia mendorong Dirjen Pas agar lebih transparan dalam pemberian remisi terhadap narapidana koruptor. Terlebih kasus Djoko Tjandra sudah menyedot perhatian mendalam.
"Jadi untuk kasus kasus atensi yang mendapat perhatian itu seharusnya Dirjen Pas tidak hanya sekedar memberikan remisi, tetapi juga harus mengumumkan persyaratan remisi yang telah dipenuhi," imbuhnya.
Pemberian remisi itu, lanjut dia, merujuk pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tidak hanya mensyaratkan telah menjalani masa hukuman 1/3 kepada terpidana yang dapat diberikan remisi namun juga mencantumkan syarat berkelakukan baik.
"Nah itu tadi jangan kebiasaan itu yang terjadi di luar juga dilakukan di Lapas dan akhirnya itu kan merusak SOP yang ada di Lapas. Jangan sampai kebiasaan di luar itu menjadi pertanyaan publik," katanya.
Untuk membuktikan dugaan praktik suap dalam pemberian remisi terhadap Djoko Tjandra, sepatutnya KPK, Kejaksaan dan Ombudsman segera mengusut pemberian remisi tersebut.
"Antara aturan yang berlaku, pihak pelaksana Lapas harus transparan untuk menjawab keraguan publik terkait keringanan yang diberikan," bebernya.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan alasan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) yang memberikan remisi terhadap Djoko Tjandra pada peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-76.
Pemberian remisi itu dianggap janggal mengingat Djoko Tjandra baru menjalani hukuman 2 tahun pidana penjara pada akhir Juli 2020 atas perkara cessie bank Bali berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung tahun 2009. Sebelum eksekusi berjalan Djoko Tjandra pun sempat melarikan diri ke Luar Negeri dan menjadi buron selama 11 tahun.
"Tentu hal ini janggal, sebab, bagaimana mungkin seorang buronan yang telah melarikan diri selama 11 tahun dapat diberikan akses pengurangan masa pemidanaan," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana beberapa waktu lalu.