Sleman, Gatra.com - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan fenomena keterusiran fisik dan sosial warga akibat pembangunan hotel, apartemen, dan kos eksklusif yang amat masif di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hal itu menjadi temuan riset Zahra Auliani Fauziatunnisa dan Akhmad Khanif dari Fakultas Ilmu Budaya dan Benyamin dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Menurut mereka, pembangunan hotel di Karangwuni, Sleman, DIY, membuat warga tak hanya terusir secara fisik karena terpaksa pindah lantaran tanahnya digunakan untuk pembangunan hotel.
Warga juga mengalami keterusiran secara sosial, yaitu hilangnya keterikatan masyarakat dengan daerahnya akibat perubahan sosial budaya pasca-pembangunan.
"Pembangunan kos eksklusif untuk mahasiswa secara masif di daerah Karangwuni juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya, di antaranya lunturnya kebersamaan antar-warga, berkurangnya secara drastis acara maupun pagelaran tradisional sebagai ajang silaturahmi antar warga,” papar Zahra dalam rilis pers UGM, Jumat (20/8).
Pembangunan apartemen di daerah ini juga berdampak cukup besar bagi masyarakat. Krisis air, polusi suara, dan bahkan konflik sosial perpecahan antara warga Karangwuni pun sempat terjadi saat pembangunan apartemen.
Riset keduanya memaparkan, pembangunan hotel, apartemen, dan fasilitas komersial memang semakin marak di DIY, khususnya di Sleman. Status Yogyakarta sebagai kota wisata sekaligus kota pelajar menjadi daya tarik kuat bagi pendatang untuk tinggal di Yogyakarta, baik untuk berwisata, studi, dan mencari tempat tinggal baru.
Tingginya permintaan pasar tersebut mendorong pembangunan masif di Sleman sebagai daerah penyangga atau peri-urban yang berdekatan dengan pusat kota. Data BPS 2020 menyebutkan, pembangunan hotel di Sleman naik secara signifkan. Pada 2015 di Sleman hanya terdapat 26 hotel berbintang dan 363 hotel non-bintang, tapi kini jumlahnya menjadi 65 hotel berbintang dan 715 hotel non bintang.
Akibatnya, terjadi fenomena gentrifikasi, yakni komodifikasi makna dari ruang perkotaan yang cenderung menyediakan kebutuhan kelas menengah atau pasar dan menyingkirkan kelompok kelas bawah.
Zahra menjelaskan, gentrifikasi sering dianggap positif karena menguntungkan pihak pemerintah yakni berupa pembaruan kualitas fisik perkotaan dengan menyingkirkan kawasan kumuh milik masyarakat kelas bawah.
Namun, dari aspek sosial dan budaya, masyarakat rentan di wilayah tersebut seringkali tak diperhatikan. Mereka pun mengalami fenomena displacement atau keterusiran yang menyertai gentrifikasi tersebut.
Riset ini melibatkan sejumlah narasumber, seperti Ketua RT 1 Karangwuni, Mbah Tin selaku warga sepuh asli Karangwuni, Teti yang meninggalkan Karangwuni, Wisnu selaku Ketua Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PKWTU), LBH DIY, dan Dinas Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sleman. Tim peneliti juga melibatkan pakar gentrifikasi yaitu Hardian Wahyu Widianto dan Yeremias Torontuan Keban.
Riset juga menemukan tingginya kenaikan harga tanah diimbangi dengan prospek bisnis kos mahasiswa yang cenderung menguntungkan dan mendorong warga untuk menjual rumahnya di Karangwuni untuk dijadikan usaha kos mahasiswa. “Hal ini menyebabkan berkurangnya secara drastis warga asli Karangwuni yang masih bertahan dan bertempat tinggal di sana,” kata Zahra.
Zahra menyebut kurangnya perhatian pada aspek manusia dan kehidupan sosial dalam kebijakan pembangunan membuat kajian kritis tentang gentrifikasi diperlukan. Dukungan pemerintah dan media komersial pada proses gentrifikasi membuat konflik sosial sering diabaikan dan hanya dianggap sebagai masalah sementara.
Padahal, ihwal masyarakat sebagai korban keterusiran perlu dikaji karena mereka mengalami kerugian jangka panjang secara material dan sosial. Gentrifikasi akan terus terjadi dan masalah sosial yang mengikuti berpotensi untuk terus terulang seiring masifnya ekspansi perkotaan.
Dengan demikian, tak hanya kota besar yang perlu menyiapkan strategi solutif terhadap masalah sosial akibat gentrifikasi. Kawasan peri-urban pun perlu menyiapkan perencanaan pembangunan yang memperhatikan kehidupan sosial.
Benyamin menambahkan, pemerintah perlu membuat kebijakan perencanaan tata ruang dan wilayah yang lebih terpadu. Kebijakan ini perlu mengambil perspektif masyarakat sehingga fenomena keterusiran dapat lebih dimitigasi dan dicegah.