Jakarta, Gatra.com – Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung), Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mengatakan, pemisahan surat dakwaan 13 terdakwa manajer investasi dalam kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya membuat tidak sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Leo dalam konferensi pers virtual pada Rabu (18/8), menjelaskan, jika surat dakwaan ke-13 terdakwa MI tersebut tidak disatukan atau dipisah-pisah (splitsing) maka satu orang saksi akan memberikan keterangan sebanyak 13 kali di persidangan.
"Dapat digambarkan, bila seorang saksi akan diperiksa terhadap masing-masing tersangka Manajer Investasi dengan surat dakwaan di-splitsing (dipisah), maka seorang saksi minimal akan diperiksa 13 kali pada waktu yang berbeda," ujarnya.
Sedangkan jika surat dakwaan ke-13 MI disatukan atau tidak dipisah-pisah, maka satu orang saksi dapat diperiksa satu kali untuk ke-13 terdakwa. "Ini akan lebih cepat, sederhanan, dan biaya ringan," ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Leo juga menampik pemberitaan dan pendapat pengamat yang menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak profesional dan tidak jeli dalam memisahkan antara pelaku satu perkara dengan perkara lainnya.
"Atas pendapat tersebut, dapat dinyatakan tidak benar, sebagaimana telah disampaikan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat bahwa Penuntut Umum telah profesional, cermat, jelas dan lengkap dalam membuat Surat Dakwaan sebagaimana Pasal 143 Ayat (2) KUHAP, yaitu telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil," ujarnya.
Bahkan, lanjut Leo, penggabungan Surat Dakwaan merupakan kewenangan Penuntut Umum yang diatur dalam Pasal 141 huruf c KUHAP, mengingat perkara ke-13 Manajer Investasi ini saling berhubungan alat bukti maupun barang buktinya.
Selain itu, kewenangan penggabungan Surat Dakwaan bila memperhatikan Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, secara tegas dijelaskan terkait permasalahan Pasal 141 KUHAP, merupakan "kewenangan Jaksa/Penuntut Umum”.
"Dengan penggabungan surat dakwaan, menunjukkan Penuntut Umum telah menerapkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan," ujarnya.
Kejagung meminta para pengamat hukum lebih jeli melihat bahwa putusan sela tersebut menyatakan surat dakwaan “batal demi hukum” atau absolut nietig, artinya surat dakwaan tidak memenuhi syarat materiil.
"Mohon diperhatikan bahwa putusan sela tersebut menerima keberatan (eksepsi) tentang 'penggabungan berkas perkara', bukan karena tidak dipenuhinya syarat materiil surat dakwaan," katanya.
Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan bahwa menerima keberatan (eksepsi) tentang “penggabungan berkas perkara” yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa I, VI, IX, X, dan XII dalam perkara dugaan korupsipengelolaan transaksi pembelian dan penjualan instrumen keuangan pada reksa dana milik PT Asuransi Jiwasraya tahun 2008-2018.
Dalam putusan sela perkara Nomor: 35/Pid.Sus-TPK/2021/PN JKT.Pst tanggal 16 Agustus 2021 tersebut, majelis hakim menyatakan Surat Dakwaan No. Reg. Perk: PDS-10/M.1.10/Ft.1/03/ 2021 tanggal 21 Mei 2021 batal demi hukum, memerintahkan perkara a quo tidak diperiksa lebih lanjut, dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Dalam pertimbangannya, majelis menilai bahwa perkara 13 perusahaan investasi atau manajer investasi tidak berhubungan satu sama lain sehingga penggabungan surat dakwaan akan menyulitkan majelis menilai perbuatan masing-masing terdakwa.
Menurut majelis, penggabungan perkara ke-13 manajer investasi ini selain menjadi rumut, juga bertentangan dengan asas persidangan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Dalam perkara ini, JPU Kejari Jakpus mendakwa 13 perusahan investasi atau manajer investasi tidak mematuhi ketentuan Pasal 15 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 43/POJK.04/2015 tentang Pedoman Perilalu Manajer Investasi.
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perusahaan investasi atau manajer investasi dapat menerima komisi dengan catatan komisi tersebut tidak mengakibatkan benturan kepentingan dengan nasabah dan atau merugikan kepentingan nasabah.
Menurut JPU, perbuatan ke-13 perusahaan investasi atau manajer investasi tersebut telah merugikan kuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp10,985 triliun.
Adapun ke-13 korporasi manajer investasinya, yakni:
1. PT Millenium Capital Management
2. PT Treasure Fund Investama
3. PT Pool Advista Aset Manajemen
4. PT GAP Capital yang dahulunya bernama PT Guna Abadi Perkasa
5. PT Maybank Asset Management
6. PT Pinnancle Persada Investama
7. PT Sinarmas Asset Management
8. PT Corfina Capital
9. PT Jasa Capital Asset Management
10. PT Pprospera Asset Management
11. Korporasi MNC Asset Management
12. PT OSO Management Investasi
13. PT Pan Arcadia Capital yang dahulunya bernama PT Dhawibawa Manajement Investasi.