Jakarta, Gatra.com – Suasana perayaan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76 saat ini sedikit diberkahi kelegaan dari ruwetnya situasi pandemi Covid-19 sejak gelombang kedua bergulir dan memuncak pada bulan Juni-Juli lalu.
Sebagian pihak, terutama dari otoritas pemerintah, memang menganggap bulan Juni-Juli kemarin sebagai gelombang kedua pandemi Covid-19 di Indonesia. Namun, sebagian lainnya beranggapan bahwa Indonesia sebetulnya tak pernah benar-benar keluar dari gelombang pertama sejak pandemi melanda pertama kali Maret tahun lalu.
Pada akhir Juni 2021 lalu, tepatnya pada tanggal 30, Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, mencatat rekor bed occupancy rate (BOR) tertinggi, setidaknya sejak setahun terakhir. Pada tanggal tersebut, Wisma Atlet mencatatkan BOR 90,79%.
Sebelum puncak lonjakan kasus tersebut, setidaknya di pekan kedua Juni ketika BOR sudah mencapai kisaran 80%, Satgas Covid-19 sebetulnya sudah mempersiapkan langkah antisipasi, yaitu dengan menambahkan sebanyak 1.400 tempat tidur di Wisma Atlet. Namun, penambahan tersebut dinilai tak berpengaruh banyak pada perubahan angka BOR.
“Apa yang dilakukan? Dilakukan penambahan tempat tidur 1.400. Sempet turun, eh naik lagi. Berarti memang jumlah pasiennya luar biasa banyak pada saat itu. Sudah ditambah 1.400 aja dia masih naik ke atas,” kata Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Covid-19, Dewi Nur Aisyah, pada Rabu, (18/8).
Dewi kemudian menyebut bahwa pada tanggal 24 Juli 2021, Satgas menambah lagi sebanyak 500 tempat tidur. Dengan demikian, total tempat tidur yang pemerintah siapkan untuk Wisma Atlet dalam menghadapi apa yang ia sebut sebagai “second wave” tersebut adalah sejumlah 1.900 tempat tidur.
Sebelum dua penambahan ini, kapasitas tempat tidur di Wisma Atlet hanya berjumlah 5.594 saja. Dengan dua penambahan di atas, maka total kapasitas tempat tidur yang dimiliki rumah sakit penopang tersebut saat ini adalah sebanyak 7.494 kamar.
“Dan itu pun masih, kalau kita lihat, masih kena puncak di tanggal 30 Juni [dengan prosentase BOR] 90%. Jadi bener-bener bisa dibilang hampir penuh,” ujar Dewi.
Walau begitu, akhirnya BOR di Wisma Atlet mengalami penurunan pada tanggal 11 Juni 2021. Penurunannya lebih dari 10%. Pada tanggal itu, BOR di RSDC menjadi 79,93%. Sebagai catatan, tanggal tersebut adalah sepekan setelah penerapan PPKM Darurat pertama kali ditetapkan pada tanggal 3 Juli 2020.
PPKM Darurat—yang kemudian berganti nama berdasarkan level di masa-masa perpanjangan setelahnya—tampak membuahkan hasil. Akhirnya, lebih dari satu bulan kemudian, tetpatnya pada 18 Agustus 2021, BOR di Wisma Atlet dinyatakan berada di angka 17,60%. Penurunan absolut dari angka BOR tertinggi sampai hari ini adalah sebesar 73,19%.
Angka BOR tersebut diharapkan akan terus mengalami penurunan. Pasalnya, angka tersebut masih belum menyentuh rekor angka BOR terendah di Wisma Atlet sebesar 15,02% pada 18 Mei 2021 lalu.
“Kita bisa lihat bahwa memang rumah sakit darurat ini menjadi penopang, ya, penopang yang sangat menguatkan sehingga rumah sakit rujukan tidak penuh karena salah satu kunci penanganan adalah membedakan,” ujar Dewi.
“Kita mengklasifikasi pasien mana-mana yang cukup hanya di isolasi terpusat saja tanpa perlu penanganan ke rumah sakit. Kalau enggak, nanti rumah sakitnya penuh, baik dia gejalanya ringan, sedang, dan berat. Akhirnya tidak bisa dipisahkan. Fatalitas juga menjadi semakin tinggi,” imbuh Dewi.
Dalam suasana perayaan kemerdekaan ini, baik pemerintah dan masyarakat berhak bernapas sedikit lega. Selain kabar menyenangkan dari Wisma Atlet, Dewi juga menyampaikan bahwa penurunan kasus aktif di level nasional sejak puncaknya pada akhir Juni-Juli lalu juga mengalami penurunan, yakni sebesar 37,58%.
Selain itu, Dewi juga menyampaikan bahwa angka BOR di rumah sakit rujukan Covid-19 di setiap provinsi di Indonesia sudah tak ada lagi yang menyentuh angka 80%, menurut data Satgas Covid-19 per tanggal 18 Agustus 2021.
Menurut data tersebut, terdapat tujuh provinsi yang sudah berwarna hijau atau setara dengan BOR di bawah 30% di Indonesia. Ketujuh provinsi tersebut adalah sebagai berikut: Jawa Barat (27,83%), Banten (27,64%), Nusa Tenggara Barat (27,43%), DKI Jakarta (25,55%), Kepulauan Riau (25,38%), Papua Barat (18,94%), dan Maluku (14,95%).
Tiga dari tujuh provinsi tersebut ada di Pulau Jawa yang menerapkan PPKM Darurat dan PPKM Level 3-4 sejak awal Juli silam. Dewi melihat hal ini sebagai sebuah keberhasilan. “Jadi, kita bisa lihat kemajuan yang sangat signifikan terjadi dalam beberapa pekan terakhir pasca penerapan PPKM Level 4 atau PPKM Darurat,” ujarnya.
Walau demikian, Dewi menilai bahwa perjuangan melawan gelombang varian Delta ini belum tuntas sampai di sini. Ia tetap mengharap kontribusi dari setiap elemen masyarakat untuk tetap patuh pada protokol kesehatan. Belum lagi, menurut data per hari ini dari Kementerian Kesehatan, penambahan kasus masih berada di kisaran belasan ribu dan angka kematian masih di atas 1.000 kasus kematian.