Jakarta, Gatra.com - Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto mengatakan bahwa ditinjau dari inflasi yang diproyeksikan pemerintah senilai 3 persen merupakan sinyal dari perbaikan pertumbuhan ekonomi, karena di era pertumbuhan biasanya akan diikuti dengan peningkatan inflasi. Adapun inflasi di Indonesia biasanya relatif pelan-pelan dan tidak akan tiba-tiba melonjak karena pemulihannya juga perlahan.
"Ketika daya beli masyarakat terpukul di kala pandemi, maka saat terjadi pemulihan, produsen tidak akan segera menaikkan harga karena daya beli masyarakat juga belum langsung pulih," katanya, dilansir dari keterangan tertulis yang diterima Gatra.com pada Selasa malam, (17/8).
Eko mengatakan BI rate juga diperkirakan tidak akan turun lebih dulu, bahkan kemungkinan menaik bila terjadi gejolak di pasar keuangan. "Yang harus diwaspadai pada 2022, tetaplah inflasi pangan pada saat pemulihan ekonomi. Hal itu yang harus menjadi prioritas perhatian pemerintah terutama aspek aksesibilitas. Ketika demand meningkat, tidak semua daerah punya stok cukup untuk mensuplai pasar, sehingga ada daerah-daerah yang minus dan menjadi efek inflatoir," ungkapnya.
Kemudian Eko mengatakan nilai tukar juga tetap optimis pada Rp14.350 per Dolar Amerika Serikat (USD), yang mungkin adalah gambaran dari optimisme pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Tetapi jika speed of recovery atau kecepatan pemulihan dari negara-negara maju berbeda dengan domestik, maka mungkin ada capital outflow yang pindah ke negara-negara maju akibat lambatnya recovery dalam negeri.
"Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi BI [Bank Indonesia] dalam mengendalikan rupiah pada 2022," lanjutnya.
Eko pun menyebut pemulihan yang cepat di negara-negara maju adalah peluang besar bagi Indonesia untuk mendorong ekspor. "Dari situlah ada peluang untuk menghasilkan devisa dan memberi bantalan pada penguatan nilai tukar. Harus ditinjau lagi mana yang lebih di antara aspek tantangan dan peluang tersebut," terangnya.