Jakarta, Gatra.com – Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun, mengatakan bahwa panglima TNI dapat dijabat secara bergatian oleh perwira tinggi aktif dari setiap matra.
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tersebut mengungkapkan, ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004. Atas dasar itu, panglima TNI biasanya dijabat secara bergilir oleh tiap perwira dari Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Menurutnya, pengangkatan ini bersifat kultural, bukan struktural.
Jika merujuk pengisian jabatan Panglima TNI sebelumnya, kata dia, pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto nanti adalah giliran dari AL. Adapun Hadi akan pensiun pada November mendatang.
Ubedilah menilai bahwa Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), Laksamana Yudo Margono, memenuhi syarat untuk mendapuk Panglima TNI mendatang. Yudo meniti karier dengan pendidikan militer terbaik.
Karier militer yang pernah dirintis Yudo di TNI, yakni menjadi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I. Selain itu, Yudo juga sebagai sosok yang memberi perhatian serius pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) TNI AL.
"Saya termasuk meyakini bahwa siapapun Kepala Staf di TNI, mereka adalah kader terbaik di matranya," kata Ubedilah dalam keterangan pada Kamis (12/8).
Ia berpendapat demikian karena TNI merupakan salah satu institusi yang kaderisasinya jelas dan terbaik di Indonesia. "Jadi tidak perlu melakukan lobi-lobi politik atau langkah-langkah yang menunjukan semacam political imaging [pencitraan politik] untuk berebut menjadi panglima," ujarnya.
Karena demikian, menurut Ubedilah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu pusing dan melakukan lobi-lobi politik untuk menunjuk sosok calon panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto dan mengajukannya kepada DPR untuk meminta persetujuan.
"Tentang perlunya persetujuan DPR juga tidak perlu dikhawatirkan karena DPR kan memang saat ini hanya sebagai stempel pemerintah karena lebih dari 80% anggota DPR adalah pemerintah," katanya.
Menurutnya, pergantian panglima TNI itu hal biasa dan sudah rutin terjadi karena TNI memiliki mekanisme sirkulasi elit yang sudah mapan dan tinggal diikuti.
Meski demikian, lanjut Ubedilah, posisi Panglima TNI sangat strategis sehingga seringkali muncul beragam tafsir politik dan kepentingan. Mereka mencoba untuk mengubah mekanisme sirkulasi panglima yang sudah mapan itu melalui lobi-lobi politik yang kadang dalam perspektif kenegaraan itu merusak marwah institusi TNI.
Karenena demikian, lanjut dia, Presiden meski menggunakan logika undang-undang dengan memperhatikan profesionalitas, integritas, loyalitas, dan rekam jejak (track record) calon panglima TNI.